Mitra Hijau | DEFORESTASI DAN SOLUSI IKLIM GLOBAL
16562
post-template-default,single,single-post,postid-16562,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

DEFORESTASI DAN SOLUSI IKLIM GLOBAL

DEFORESTASI DAN SOLUSI IKLIM GLOBAL

Istilah ‘deforestasi’ tiba-tiba muncul dan menjadi isu penting saat berlangsungnya COP-26 bulan November tahun lalu di Glasgow, Skotlandia. Pembahasan deforestasi juga menjadi topik utama dalam COP-13 di Bali pada tahun 2007. Pada saat itu belum lama dikenalkan sebuah konsep baru yaitu dengan nama REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) yang kemudian berkembang menjadi REDD+. Ketika itu pula REDD+ menjadi harapan dunia untuk keluar dari krisis iklim. Pertemuan COP-26 yang dihadiri lebih dari 100 pemimpin Negara yang menguasai 85% hutan di seluruh dunia berjanji untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030. Negara Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo yang merupakan tiga “raja hutan” dunia, yang termasuk dalam 100 negara lainya yang telah melakukan penandatangan komitmen ini.

Komitmen yang disertai janji bantuan sebesar hampir £14 miliar (USD19,2 miliar) yang berasal dari dana publik dan swasta itu nampaknya bukan sekedar harapan dan peluang, tetapi juga dibayangi ancaman kegagalan dimasa lalu. Penggunaan konsep REDD+ dinilai para ahli kurang berhasil untuk memperlambat laju deforestasi. Salah satu Contoh kegagalanya yaitu, kerjasama Indonesia dan Norwegia yang putus di tengah jalan. Menurut para ahli kegagalan ini disebabkan dua hal. Pertama, desain  Letter of Intent (LOI)  dengan substansi dan jadwal yang ambisius tidak cukup mempertimbangkan rintangan politik yang sedang dihadapi. Dinamika dalam pemerintahan Indonesia mengakibatkan tertundanya penyelesaian program kerja dan aktivitas yang telah disusun dengan susah payah. Pembubaran lembaga independen REDD+ di Indonesia yang di isyaratkan oleh LOI merupakan salah satu alasan utama dalam masalah ini. Kedua, Norwegia dan Indonesia memiliki pandangan yang berbeda tentang langkah-langkah, standar dan instrumen REDD+ sehingga keduanya tidak bisa memahami satu sama lain.

 

Hutan dan Perubahan Iklim

Dalam konteks perubahan iklim, keberadaan hutan dianggap sangat penting karena bukan saja potensinya yang besar dalam menyerap emisi Gas Rumah Kaca (GRK), tetapi juga ancaman emisi yang luar biasa besarnya bila lahan hutan dibuka, ditebang, dan dibakar. Penebangan dan pembakaran pohon untuk membuka lahan hutan berkontribusi terhadap perubahan iklim karena mengeluarkan sejumlah besar emisi gas CO2 ke  atmosfir. Menurut Nicolas Stern, seorang ekonom Inggris, sekitar 17-20 persen emisi global disebabkan karena terjadinya deforestasi di negara-negara berkembang, dan 75 persen diantaranya disebabkan deforestasi di negara-negara tropis, termasuk Indonesia.

 

Deforestasi di Indonesia

Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 187 juta hektar, menurut data yang tersedia, separuhnya merupakan kawasan hutan. Beberapa tahun terakhir Indonesia telah membuat kemajuan yang besar dalam mengurangi deforestasi dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data deforestasi yang dirilis oleh pemerintahan Indonesia secara resmi pada Maret 2021 menunjukkan bahwa laju deforestasi telah menurun secara signifikan pada tahun 2019 – 2020 sebesar lebih dari 70% atau menjadi 115,5 ribu hektar dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 462,5 ribu hektar. Data ini tidak jauh berbeda dengan data WRI dan Global Forest Watch yang merilis luas deforestasi sebesar 480 ribu hektar pada 2018. Pengurangan deforestasi yang telah dilakukan Indonesia sangat mengesankan selama dua tahu terakhir. Hal ini menunjukan Indonesia telah bergerak ke arah jalur yang benar untuk mencapai tujuan sektor kehutanan dalam memberikan sumbangannya terhadap Nasional Determined Contribution (NDC). Menurut perhitungan, angka deforestasi tahunan harus dibatasi maksimal hingga 325.000 hektar antara tahun 2020 dan 2030. Angka-angka deforestasi ini tentunya perlu diverifikasi keabsahannya oleh pihak ke tiga yang independen agar bisa diterima oleh semua pihak.

Beberapa kebijakan telah berkontribusi pada penurunan deforestasi, dengan penguatan penegakan hukum untuk mencegah kebakaran hutan dan pembukaan lahan bisa dikatakan paling efisien. Upaya restorasi 2,4 juta hektar lahan gambut yang terdegradasi (diamanatkan oleh Peraturan Presiden tahun 2016) juga membantu mengurangi kebakaran lahan gambut, sehingga menurunkan laju deforestasi. Kebijakan moratorium yang melarang pembukaan hutan primer dan lahan gambut juga terbukti cukup efektif. Walaupun demikian, menurut catatan yang tersedia, pada tahun 2018, provinsi Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua Barat masing-masing mengalami peningkatan deforestasi sebesar 43%, 40%, dan 36% dibandingkan tahun 2017. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa provinsi-provinsi ini memiliki hampir sepertiga dari hutan primer Indonesia. Dilihat dari perspektif lingkungan dan perubahan iklim, wilayah tersebut memiliki ekosistem hutan alam hujan tropis yang sangat berharga. Bukan saja sebagai penyerap dan penyimpan karbon melalui pohon-pohon yang berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun, tetapi juga untuk memastikan keberadaan kawasan hutan dengan keaneka ragaman hayati yang mendukung mata pencaharian, ketersediaan makanan, air, udara bersih, obat-obatan, dan lain-lain.

 

Kehutanan vs Pertanian

Pertanian dalam arti luas meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, tetapi dalam tulisan ini perikanan tidak diikut sertakan dalam pembahasan. Dalam perundingan perubahan iklim di bawah UNFCCC, kehutanan dan pertanian merupakan bagian dari Land Use Land Use Change and Forestry (LULUCF). Sementara masalah pertanian dalam perubahan iklim selalu dihubungkan dengan keamanan pangan (food security). Hal ini ditegaskan dalam artikel 2 tentang tujuan UNFCCC, yaitu: “Stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be achieved within a time-frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable economic development to proceed in a sustainable manner”.

Namun demikian di dalam text negosiasi tentang REDD disebutkan bahwa pertanian adalah salah satu penyebab deforestasi. Ini dipacu oleh informasi melalui kampanye besar-besaran bahwa kegiatan penanaman kedelai dan peternakan sapi di Brazil, serta perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dilakukan dengan membuka lahan berhutan. Para ilmuan menyebutnya dengan istilah ILUC (Indirect Land Use Change). ILUC terjadi karena terdapat dua kepentingan dalam satu petak lahan hutan, yaitu untuk memenuhi keperluan hasil hutan dan perlindungan ekosistem, dan untuk memenuhi kebutuhan pangan (minyak sawit). Akibat tekanan dua kepentingan ini lahan hutan sedikit demi sedikit terkikis untuk memenuhi kebutuhan lahan sawit. Pembangunan kebun kelapa sawit besar-besaran di Indonesia berlangsung sejak tahun 2000 dianggap berpengaruh terhadap emisi dari sektor kehutanan. Sampai tahun 2020 luas kebun sawit di Indonesia tercatat lebih dari 14 juta hektar dan cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu.

Menilik dari sudut pandang keamanan pangan (food security), peranan pertanian sangat vital bagi pembangunan sosial dan ekonomi pedesaan. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa perubahan iklim telah berpengaruh nyata terhadap produktivitas pertanian. Sebaliknya, pertanian juga bisa merupakan salah satu sumber emisi dan sekaligus penyerap dan penyimpan karbon. Dalam hal ini, maka terdapat kaitan antara upaya adapatasi dan mitigasi yang dilakukan sektor pertanian dengan perubahan iklim. Hasil riset selanjutnya menyebutkan pentingnya melakukan koordinasi antara pertanian dan kehutanan, sehingga pertanian tidak dianggap sebagai ancaman untuk implementasi REDD+, tetapi merupakan bagian integral. Hasil riset juga menawarkan peluang-teknis yang besar untuk meningkatkan produksi pada satu sisi, dan melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sisi lain. Untuk meningkatkan sinergitas ini, maka diperlukan pendekatan yang sama untuk bidang pertanian di bawah konvensi perubahan iklim. Dukungan koordinasi dan mekanisme internasional diperlukan untuk mensinergikan keamanan pangan dan perubahan iklim.

Climate-smart agriculture” merupakan konsep yang ditawarkan FAO melalui riset agar sektor pertanian bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk menjaga keamanan pangan pada satu sisi, namun juga bisa melakukan mitigasi dan adaptasi di sisi lain untuk menekan dampak negatif perubahan iklim dalam kegiatan pertanian. Kuncinya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas, efisiensi dan ketahanan, mengurangi emisi GRK, dan mengelola pemanfaatan lahan yang kompetitif.

 

Emisi Kehutaan dan Energi

Menurut NDC Indonesia, sektor alih guna lahan dan kehutanan (Forestry and Land Use – FOLU ) dan sektor energi merupakan dua sektor utama yang paling berperan dalam menyumbangkan emisi GRK. Berdasarkan dokumen NDC, pada awalnya (baseline, 2010) sektor FOLU menjadi penyumbang terbesar emisi GRK yaitu sebesar 647 juta ton setara CO2  atau kira-kira 50% dari total emisi nasional, dan disusul sektor energi sebesar 453 juta ton atau 34%. Namun dalam delapan tahun ke depan (sampai 2030) sektor energi akan menjadi ‘juara’nya. Pada saat itu emisi sektor energi setara CO2 diperkirakan melompat 3,7 kali lipat menjadi 1,7 juta ton, dan sektor FOLU hanya naik sedikit saja menjadi 0,7 juta ton. Hal ini berarti total emisi sektor energi saat itu akan mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan sektor FOLU. Dengan demikian, pada 2030, emisi kedua sektor itu (FOLU dan energi) mendominasi (83%) total emisi GRK Indonesia. Berdasarkan angka-angka tersebut, maka ambisi penurunan emisi Indonesia perlu difokuskan pada kedua sektor ini: FOLU dan energi.

 

Pasca COP-26

Semua negara saat ini diminta untuk meninjau kembali dan memperkuat target NDC mereka pada tahun 2022 ini, terutama yang tidak selaras dengan tujuan penurunan suhu bumi. Jika 1,5°C ingin dicapai, dibutuhkan ambisi yang lebih besar. Kelompok di luar pemerintahan (non-state actors) termasuk para pelaku usaha, LSM, akademisi, praktisi dan masyarakat sipil perlu bertanya pada dirinya sendiri bagaimana bisa membantu menekan kenaikan temperatur hingga tidak lebih dari 1,5°C. Negara-negara maju perlu datang dan hadir dalam COP-27 yang akan berlangsung di Sharm El-Sheikh, Mesir pada akhir tahun ini dengan komitmen pendanaan yang lebih besar dan keinginan untuk menyelesaikan masalah loss and damage.

Sebelum COP26, banyak laporan dirilis untuk memperingatkan pemerintah tentang konsekuensi dari kegagalan untuk memangkas emisi. Fakta iklim Glasgow secara langsung merujuk pada batu bara dan bahan bakar fosil, menjanjikan target baru untuk mengakhiri deforestasi, dan mendesak para pihak untuk mempercepat pengajuan rencana pengurangan karbon mereka. Tindakan ini menunjukkan tekad yang lebih kuat untuk menutup kesenjangan reduksi emisi yang ada. Jika tidak segera ditangani, menurut para ahli, akan meningkatkan suhu bumi sampai 2,40C dan membawa akibat yang lebih buruk bagi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi ini.

Meskipun menetapkan target yang lebih tinggi mencerminkan kemajuan, tidak banyak yang bisa memastikan bahwa kegagalan untuk memenuhi janji tidak akan terulang lagi. Negara-negara maju belum memenuhi janji mereka selama satu dekade untuk mengirimkan bantuan USD 100 miliar ke negara-negara berkembang setiap tahun. Inisiatif pengurangan laju deforestasi nampaknya gagal memenuhi harapan. Mengakhiri penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil berjalan lambat meskipun ada seruan keras dalam beberapa tahun terakhir ini untuk melakukannya.

 

Jalan Krikil Ke Depan

Pemanasan bumi yang terus berlangsung hingga saat ini sesungguhnya merupakan resultante dari  pola produksi, perdagangan, dan konsumsi yang berlebihan, yang diperkuat oleh sistem subsidi dan aturan pajak yang salah. Seiring dengan memburuknya iklim, meningkatnya ketidak-setaraan, dan penggunaan bahan kimia yang meracuni kehidupan di daratan dan di perairan, hilangnya keanekaragaman hayati secara cepat, dan gangguan siklus alam adalah konsekuensi langsung dari pilihan kebijakan dan praktek-praktek bisnis yang selama ini berjalan. Menurut para akhli, sekitar 15 persen kegiatan ekonomi di dunia mungkin berkelanjutan, namun 85 persen sisanya tidak jelas. Jadi, yang 15 persen harus diperluas, dan yang 85 persen perlu dihapus dengan cepat.

Inti dari kegagalan ini adalah sistem ekonomi global dan agenda ekonomi nasional. Negara-negara maju berusaha untuk mempertahankan gaya hidup intensif dengan pemanfaatan sumber daya pada tingkat tertentu. Di sisi lain, negara-negara berkembang bercita-cita untuk mengangkat populasi mereka keluar dari kemiskinan dan meningkatkan standar hidup mereka, mungkin dengan meniru negara-negara maju. Eksploitasi sumber daya alam secara terus-menerus tidak dapat dihindari untuk mendukung model ekonomi semacam itu. Langkah-langkah seperti deforestasi dengan demikian secara inheren sulit untuk dilakukan.

Selanjutnya, energi murah sangat penting untuk menjaga biaya produksi secara keseluruhan tetap rendah. Tidak mengherankan bahwa bahasa yang disederhanakan seperti “penurunan bertahap” penggunaan batubara dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien berhasil menjadi kesepakatan akhir. Dengan demikian selama alasannya masuk akal secara sosial dan ekonomi, penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil akan tetap ada.

Jika diibaratkan pemanasan global dan perubahan iklim seperti kendaraan yang sedang melaju kencang karena remnya blong, maka COP-26 yang lalu adalah momentum yang tepat untuk menyelamatkan diri. Ada kerusakan di sepanjang jalur jalan yang dilaluinya, dan masih banyak lagi kerusakan yang ada di depan mata. Jalan yang harus dilalui ke depan masih panjang dan berliku-liku. Kita berharap dalam COP-27 tahun ini yang akan berlangsung di Mesir, memberikan jalan yang terbaik sehingga upaya penyelamatan bumi bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih baik sebelum pertengahan abad ini. Semoga…