23 Mar Net Zero Emission, Harapan Masa Depan Perubahan Iklim
Akhir-akhir ini pegiat lingkungan ramai membicarakan Net Zero Emission (NZE) yang tidak lain adalah puncak harapan masa depan (expected future milestone) dimana emisi karbon sepenuhnya diserap oleh bumi melalui berbagai kegiatan manusia dan bantuan teknologi, sehingga tidak menimbulkan pemanasan global.
Itulah cita-cita semua negara yang dinegosiasikan lebih dari seperempat abad yang lalu dibawah naungan Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Convention on Climate Change -UNFCCC). UNFCCC bersidang setiap tahun melalui Committee on Parties (COP), dan tahun ini COP ke 26 akan diselenggarakan di Glasgow, Inggris Raya.
Kesepahaman perubahan iklim
NZE mengemuka sejak COP 21 di Paris yang menghasilkan Paris Agreement yang mewajibkan setiap negara menyampaikan target penurunan emisinya yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang pelaksanaannya dimulai tahun 2020 yang lalu. Rangkaian proses inilah yang perlu dipahami dahulu oleh setiap orang untuk sampai kepada NZE dan tidak gagal paham tentang isu perubahan iklim secara keseluruhan.
UNFCCC berisi 29 pasal, yang boleh dikatakan seperti UUD 45-nya NKRI. Indonesia sudah meratifikasi UNFCCC dan Paris Agreement, sehingga secara legal kita terikat dengan segala keputusannya. Isu-isu yang muncul seperti kewajiban negara maju dan negara berkembang, pentingnya kawasan konservasi dan perdagangan karbon, keberpihakan kepada masyarakat marginal, pendanaan, teknologi, dll. Sesungguhnya sudah dicakup dalam 29 pasal Konvensi PBB itu. Jadi, penting digarisbawahi pentingnya pemahaman mendasar tentang isu perubahan iklim.
Agar tidak gagal paham, perubahan iklim dicirikan oleh dua hal penting, yaitu borderless issue, dan long-term time span. Yang pertama adalah bahwa bencana atau peristiwa yang berdampak perubahan iklim di suatu tempat atau belahan dunia, akan berdampak di tempat kita berada, atau sebaliknya. Bencana dimaksud berawal sejak revolusi industri di negara-negara maju pada abad 18, yang kemudian dianggap “dosa” negara maju.
Dalam negosiasi global, dosa tersebut dicoba ditebus, dan kemudian muncullah Kyoto Protokol yang mewajibkan negara maju untuk bertanggung jawab dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dalam perjalanannya, ternyata emisi tetap meningkat karena pertambahan penduduk, aktivitas dan gaya hidup manusia, peningkatan GDP, dan penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi.
Akhirnya di Paris tahun 2015 disepakati Paris Agreement yang merubah “dosa” negara maju menjadi “dosa semua pihak (lebih dari 190 negara yang telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim PBB). Dengan demikian, sejak 2020, penurunan emisi menjadi kewajiban semua negara. Karena Indonesia sudah terikat secara legal (legally binding), maka tidak bisa lagi kita mengelak dan mengeluh bila diwajibkan untuk turut menurunkan emisi GRK juga.
Ciri perubahan iklim yang kedua adalah long-term time span issue. Bahwa proses perubahan iklim terjadi dalam kurun waktu yang panjang, antara 50 sampai 100 tahun. Itulah sebabnya NZE dipatok akan terjadi pada tahun 2045, 2050, 2060, dst. Penentuan tahun NZE bergantung pada waktu kapan kita berhasil mencapai “peak emission”.
Menurut skenario Bappenas, Indonesia bisa mencapai NZE tahun 2045 atau 2050 asalkan paling lambat tahun 2027 sudah terjadi ‘peak’, artinya jumlah emisi CO2 mencapai jumlah maksimal pada tahun tersebut, dan setelah itu harus turun. Keterlambatan satu tahun saja dalam menurunkan emisi, bisa menyebabkan NZE mundur 5 – 10 tahun. Bila peak baru dicapai tahun 2033-2034, maka NZE akan terjadi pada tahun 2060-2070.
Selain kedua ciri tersebut, proses perubahan iklim menggunakan pendekatan dan analisa ilmiah. UNFCCC dilengkapi oleh keberadaan Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) yang didukung lebih dari 2000 peneliti handal di seluruh dunia . Laporan-laporan IPPC menjadi referensi utama dalam mencari kesepakatan para pihak dalam negosiasi perubahan iklim global.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Di tingkat nasional, paling tidak ada tujuh kementerian yang berada di garda terdepan dalam menangani isu perubahan iklim. Mereka adalah Bappenas, KLHK, ESDM, Perhubungan, Industri, Pertanian, dan Keuangan. Walaupun KLHK telah ditetapkan sebagai vocal point untuk UNFCCC, tetapi sesuai dengan Pasal 3 UNFCCC, Bappenas bertanggung jawab dalam menyusun perencanaan ke depan.
ESDM penting karena dalam sepuluh tahun ke depan sektor energi akan menjadi penyumbang terbesar emisi GRK nasional. Transportasi merupakan konsumen terbesar energi di dalam negeri, sementara Industri dan pertanian terkait dengan teknologi yang banyak menggunakan energi. Keuangan menjadi kunci pembiayaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menuju NZE.
Secara struktural ketujuh kementrian ini saling terkait, namun sering tidak harmonis, tidak jelas bagaimana koordinasi kerjanya di lapangan. Pengalaman selama ini sulit diperoleh harmonisasi kerja antara yang satu dengan yang lain. Keberadaan Kementerian Koordinator nampaknya kurang memadai karena tidak langsung berada di lapangan.
Berdasarkan pengamatan empiris, diperlukan leadership yang kuat dan tata kelola yang baik untuk menangani isu perubahan iklim karena kompeksitas masalah, keterkaitan berbagai sektor dan time-span yang panjang. Barangkali sudah waktunya dipertimbangkan kembali pentingnya kehadiran suatu Badan khusus untuk menangani perubahan iklim, yang didukung oleh SDM yang tangguh, dan legal aspek yang jelas dan kuat setingkat UU. Semoga!!