30 Mar COP26: Harapan dan Tantangan
Perhelatan akbar perubahan iklim tahunan yang disebut Konferensi Para Pihak sudah sepekan ini digelar di Glasgow, Skotlandia, setelah absen pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Konferensi Para Pihak atau Conference of the Parties (COP) kali ini dihadiri sekitar 25.000 peserta, termasuk lebih kurang 100 kepala negara dari berbagai penjuru dunia. Hiruk-pikuk perubahan iklim sudah ramai dibicarakan di COP lebih dari seperempat abad lalu (sejak 1995) tanpa kepastian kapan berakhir.
Sekjen PBB Antonio Guterres saat pembukaan COP 26 secara dramatis mengatakan kepada para pemimpin negara yang hadir (termasuk Presiden Joko Widodo: ”Yang Mulia, saat ini kita menghadapi momen tentang kebenaran. Atas nama generasi saat ini dan generasi yang akan datang, saya mendesak Anda untuk memilih ambisi dan memilih solidaritas. Itu satu-satunya pilihan untuk melindungi masa depan kita dan menyelamatkan umat manusia.”
Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP 13 tahun 2007 di Bali dan dihadiri sekitar 10.000 peserta, dan dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden COP. Setiap COP berakhir dengan kesepakatan global dengan ciri tertentu. Hasil COP 13 yang disebut ”Bali Action Plan” memuat empat hal: mitigasi, adaptasi, teknologi, dan cara-cara implementasinya. Hiruk-pikuk perubahan iklim sudah ramai dibicarakan di COP lebih dari seperempat abad lalu (sejak 1995) tanpa kepastian kapan berakhir.
Dari rangkaian COP yang telah berlangsung sampai saat ini, COP 21 tahun 2015 dianggap sebagai tonggak sejarah penting yang diharapkan bisa mengubah peta jalan solusi krisis iklim global ke depan. Hasil COP 21 yang disebut Kesepakatan Paris mengharuskan setiap negara melakukan aksi iklim yang lebih ambisius untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 20 derajat celsius, dan melakukan upaya apa pun agar kenaikan itu maksimal 1,50 derajat celsius untuk menghindari dampak perubahan iklim global yang berbahaya untuk kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini.
Yang perlu dipahami, perubahan iklim dicirikan oleh tiga hal penting. Pertama, borderless issue, atau tak mengenal batas wilayah/negara. Aksi atau tindakan yang dilakukan satu negara akan berdampak pada wilayah/negara lain. Kedua, long term issue, yaitu perubahan atau dampaknya akan terasa dalam jangka waktu sangat panjang, bisa 50-100 tahun.
Ketiga, scientific based, yaitu berdasarkan analisis dan rekomendasi ilmiah yang didukung lebih dari 2.000 peneliti di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang tergabung dalam Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Inter-governmental Panel on Climate Change/IPCC). Maka tak heran apabila isu perubahan iklim selalu dibawa-bawa dan dikaitkan dengan rencana pembangunan wilayah di tiap negara.
Apa yang dicari?
Para ahli mengingatkan ancaman bencana iklim jika kita tak dapat menahan kenaikan suhu bumi lebih dari 1,50 derajat celsius dibandingkan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri pada abad ke-18. Mencairnya es di kutub utara, misalnya, akan terus berlanjut dan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut serta mengancam kota-kota di pesisir lautan sehingga memerlukan migrasi penduduk besar-besaran.
Menurut laporan IPCC terakhir, 20-40 persen populasi penduduk di muka bumi tinggal di wilayah yang terdampak seperti ini. Pada dekade 2006-2015, mereka telah mengalami pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas suhu bumi rata-rata zaman praindustri, setidaknya dalam satu musim.
Untuk mengatasi dampak buruk krisis iklim ini, COP 26 keluar dengan empat agenda utama. Pertama, memastikan emisi nol global bisa dicapai pertengahan abad ini (2050) dan mempertahankan kenaikan suhu global tak lebih dari 1,50 derajat Celsius sesuai Kesepakatan Paris. Untuk ini, setiap negara diminta menyampaikan target pengurangan emisi pada 2030 yang lebih ambisius.
Kedua, meningkatkan upaya adaptasi untuk melindungi masyarakat dan makhluk hidup lain yang terdampak bencana iklim yang sudah terjadi dan akan terus berlangsung walau upaya pengurangan emisi terus dilakukan.
Ketiga, memobilisasi pendanaan perubahan iklim untuk memenuhi dua tujuan tadi. Negara-negara maju harus memenuhi janji mereka untuk memobilisasi setidaknya 100 miliar dollar AS per tahun sebagaimana dijanjikan di 2020.
Keempat, meningkatkan kerja sama untuk mengatasi tantangan krisis iklim, baik dalam hal teknologi, pendanaan, maupun kemampuan SDM.
Harapan dan tantangan
Beberapa laporan menyebutkan, akumulasi kontribusi penurunan emisi nasional (nationally determined contribution/NDC) semua negara jika ditotal tak cukup untuk memenuhi tujuan Kesepakatan Paris. Para pakar IPCC mengatakan perlunya pengurangan emisi yang lebih ambisius, lebih cepat, dan berkelanjutan guna membatasi pemanasan global dan mencegah dampak iklim lebih buruk.
Salah satu tantangan terbesar ialah bagaimana mengajak China dan India, dua ”raja” emisi dunia, untuk turut terlibat secara aktif mendukung gagasan ini.
Di COP 26 kerja sama antarnegara diharapkan lebih kuat dalam melaksanakan aksi iklim untuk memenuhi tujuan Kesepakatan Paris. Seminggu sebelum COP 26 digelar, tiga negara dengan luas hutan tropis terbesar di dunia, yakni Indonesia, Brasil, dan Kongo, bersepakat menghentikan laju deforestasi pada 2030.