Mitra Hijau | Peluang Investasi Teknologi Pasca-COP26
Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, COP26, Penurunan Emisi GRK, Inventasi, Cadangan Karbon Yayasan Mitra Hijau
16785
post-template-default,single,single-post,postid-16785,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

Peluang Investasi Teknologi Pasca-COP26

Peluang Investasi Teknologi Pasca-COP26

Konferensi Perubahan Iklim Sedunia yang disebut Conference of the Parties (COP) ke-26 baru berakhir sebulan yang lalu di Glasgow, Inggris. COP26 menegaskan kembali perlunya menjaga agar kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 1,50Celcius dibandingkan dengan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri abad ke-18.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah COP, hasil riset ilmiah dijadikan patokan utama dalam mengambil keputusan para pihak. Menurut laporan resmi komunitas pakar perubahan iklim yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lambat atau cepat bencana iklim yang lebih hebat akan terjadi di berbagai belahan dunia bila kita tidak bisa menahan laju kenaikan suhu bumi di atas 1,50C.

Untuk menjaga agar target 1,5°C tetap hidup, separuh emisi global pada tahun 2030 harus dipangkas untuk mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad ini (2050). Kunci untuk mencapai target ini adalah Agenda Terobosan, yang diinisiasi Inggris (tuan rumah COP26) dan diamini oleh 42 pemimpin dunia, yang secara kolektif mewakili 70% dari produk domestik bruto (PDB) global.

Agenda Terobosan yang disebut The Glasgow Breakthrough adalah rencana teknologi bersih global yang belum pernah ada sebelumnya untuk membantu menjaga agar target suhu 1,5°C tetap berada dalam jangkauan semua pihak. Kunci utamanya adalah keberhasilan pelaksanaan transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang

 Transfer Teknologi

Pengembangkan transfer teknologi untuk mendukung aksi nasional terhadap perubahan iklim telah menjadi elemen penting sejak awal proses pembentukan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Convention on Climate Change/ UNFCCC) pada tahun 1992.

Konvensi yang mengandung 26 pasal itu layaknya dipandang sebagai ‘undang-undang’ yang harus diikuti dan menjadi batu pijakan dalam setiap perundingan perubahan iklim global, di mana masalah transfer teknologi tercantum dalam Pasal 4 para 1 dan para 5 UNFCCC.

Pasal 4 para 1 dan 5 UNFCCC menyatakan bahwa semua pihak harus memperkenalkan dan mem promosikan serta bekerja sama dalam pengembangan dan alih teknologi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kemudian dinyatakan bahwa konvensi mendesak negara maju mengambil semua langkah praktis untuk mempromosikan, memfasilitasi dan membiayai transfer atau akses ke teknologi iklim kepada pihak lain, terutama ke Negara berkembang.

Lebih lanjut, konvensi menyatakan bahwa efektivitas transfer teknologi akan sangat bergantung pada komitmen Negara maju dalam hal pendanaan untuk transfer teknologi.

Dalam kenyataannya, transfer teknologi banyak menga lami hambatan. Salah satu penghalang nya adalah seberapa besar keinginan negara-negara kaya untuk mentransfer teknologi ber sihnya kepada negara-negara berkembang?

Keraguan mereka diduga karena adanya kompe tisi dan kekhawatiran untuk mengembangkan dan mendominasi teknologi utama di abad ke-21 ini. Salah satu contoh yang bisa di lihat adalah industri panel surya Jerman. Dengan bantuan subsidi negara, pabrikan Jerman pernah menguasai 20% pasar panel tenaga surya dunia. Akan tetapi setelah Tiongkok meningkatkan produksi panel suryanya, dan harga panel jatuh, panel surya Jerman mengalami gelombang kebangkrutan di awal tahun 2010-an.

The Glasgow Breakthrough

COP26 telah menghasilkan apa yang disebut dengan “Glasgow Breakthroughs”, yaitu serangkaian kesepakatan antarnegara maju dan negara berkembang untuk secara cepat meningkatkan teknologi bersih di lima sektor yang secara kolektif mencakup lebih dari 50% emisi global.

Yang pertama disebut “Daya”. Yang dimaksud di sini adalah alternatif sumber daya energi yang bersih dan menjadi pilihan paling terjangkau dan menjadi andalan bagi semua negara untuk memenuhi kebutuhan energi dunia secara efisien pada tahun 2030.

Yang kedua adalah “Transportasi Darat”. Kendaraan tanpa emisi adalah hal yang akan menjadi keniscayaan di masa depan. Kendaraan semacam ini harus dapat diakses, terjangkau, dan berkelanjutan di semua Negara pada tahun 2030.

Yang ketiga adalah “Baja”. Industri baja tanpa emisi atau mendekati nol emisi adalah pilihan yang lebih diminati di pasar global melalui penggunaan produk baja yang lebih efisien di setiap negara pada tahun 2030.

Yang keempat adalah “Hidrogen”. Gas hidrogen yang dimaksudkan adalah yang bisa terbarukan, yang terjangkau dan rendah karbon. Diharapkan gas hidrogen semacam ini tersedia secara global pada tahun 2030. Yang kelima adalah “Pertanian”.

Praktik-praktik pertanian yang cerdas, tahan iklim dan berkelanjutan adalah pilihan yang paling menarik dan diadopsi secara luas oleh para petani di mana pun pada tahun 2030.

Bagaimanapun bagusnya rumusan lima agenda itu, Terobosan Glasgow hanyalah harapan para pihak untuk bisa terwujud pada tahun 2030, dan untuk mewujudkannya diperlukan antara lain investasi teknologi dan inovasi.

Para pihak mengharapkan terjalinnya kerja sama yang lebih kuat antara pemerintah dan pelaku bisnis melalui berbagai ini siatif nasional dan internasional untuk memacu proses transfer teknologi dan inovasi serta meningkatkan industri hijau. Ini termasuk, misalnya, merangsang investasi hijau melalui kebijakan insentif dan sinyal kuat kepada industri tentang ekonomi masa depan, menyelaraskan kebijakan dan standar, meningkatkan upaya penelitian dan pengembangan (R&D), mengoordinasikan investasi publik dan memobilisasi keuangan non APBN, khususnya di negara-negara berkembang.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Dari perspektif perubahan iklim, Indonesia dengan luas wilayah dan letaknya yang strategis, dinilai sangat penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Dengan kekayaan sumber daya alam berupa hutan, energi dan mineral, laut, gambut dan mangrove, potensi serapan dan simpanan karbon Indonesia amat luar biasa.

Kontribusi Indonesia sangat diharapkan untuk turut serta menyelesaikan solusi perubahan iklim global, khususnya dalam mengejar target Paris Agreement. Namun demikian, harapan itu hanya akan terwujud bila didukung dengan komitmen yang kuat, serta dukungan pendanaan dan SDM yang memadai.

Peran negara maju untuk melaksanakan transfer teknologi yang efisien, murah dan berkelanjutan seperti yang dibingkai dalam Artikel 4 UNFCCC amatlah diperlukan untuk melaksanakan Agenda Terobosan ini.  Tahun 2030 sudah di depan mata, dan pekerjaan rumah dari Glasgow perlu segera diselesaikan.

Indonesia National Determined Contribution (NDC) dan Indonesia Long Term Strategy (LTS) perlu dikaji ulang, bukan hanya untuk meningkatkan ambisi reduksi emisi gas rumah kaca, tapi juga untuk disinkronkan de ngan lima agenda Terobosan Glasgow.

Secara simultan agenda terobosan ini perlu disinergikan dan diintegrasikan ke dalam rencanapembangunan yang sudah/ sedang berjalan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota.

Karena Terobosan Glasgow ini menekankan kerja sama teknologi antara pemerintah dan pelaku bisnis, maka dibutuhkan strategic road map sampai tahun 2030 dan setelahnya. Diperlukan komitmen yang tinggi, paling tidak dalam rencana pembangunan nasional jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dengan memperhitungkan aspekaspek sosial, politik dan ekonomi.

Dukungan infrastruktur, sumber daya manusia dan finansial sudah pasti diperlukan, namun lagi-lagi dituntut dua hal penting sebagai prakondisi untuk mewujudkan harapan ini, yaitu kepemimpinan (leadership) dan tata kelola yang baik (good governance).