Mitra Hijau | Jalan Ke Depan Solusi Krisis Iklim
Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, COP26, Penurunan Emisi GRK, Climate Change, NDC, Yayasan Mitra Hijau
16803
post-template-default,single,single-post,postid-16803,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

Jalan Ke Depan Solusi Krisis Iklim

Jalan Ke Depan Solusi Krisis Iklim

Penyelenggaraan konferensi iklim tingkat tinggi selama musim pandemi adalah pencapaian besar dari COP-26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia, dua bulan yang lalu. Hasil negosiasi secara keseluruhan cukup memuaskan, antara lain dengan diselesaikannya Paris Agreement’s Rule Book (buku panduan implementasi Perjanjian Paris).

Selain itu, komitmen negara maju untuk meningkatkan pendanaan adaptasi dan kesepakatan pengurangan penggunaan batu bara yang untuk pertama kalinya diangkat dalam forum PBB ini berhasil didongkrak. Kemudian janji negara-negara maju untuk menggandakan pendanaan adaptasi ke negara-negara berkembang menyiratkan pengakuan atas dampak perubahan iklim yang semakin memburuk dan menghadapi bencana iklim yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Namun demikian, ujian sebenarnya pasca COP26 adalah apakah negara-negara dengan komitmen reduksi emisi yang lemah yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) benar-benar bisa berbuat lebih banyak pada tahun depan?

COP26 adalah pertemuan pertama yang bertekad untuk meningkatkan target pengurangan emisi nasional setiap negara yang dibuat setiap lima tahun sebagaimana diatur dalam Perjanjian Paris. Sebagian besar negara maju, kecuali Australia, mengumumkan rencana peningkatan NDC yang signifikan.

Sementara beberapa negara berkembang yang rentan seperti India, Thailand, dan Vietnam melakukan langkah substansial dalam rencana pengurangan emisinya. Sayangnya, beberapa negara penghasil emisi besar hanya mengubah target 2030 mereka (Cina dan Rusia). Beberapa negara, seperti Brazil dan Meksiko, alih-alih menaikkan target, malahan justru menurunkannya.

Terkait dengan masalah pendanaan mitigasi perubahan iklim, negara-negara maju gagal memenuhi janji mereka untuk menyediakan bantuan USD100 miliar kepada negara-negara berkembang pada tahun 2020 untuk membantu krisis iklim global. Negara maju juga menolak pendanaan internasional untuk kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim (loss and damage). Sebaliknya, negara berkembang memandang NDC yang ambisius dari beberapa negara maju dengan skeptis mengingat catatan kegagalan target yang selama ini dibuat oleh negara-negara. Isu-isu ini mendominasi sebagian besar wacana di COP26 saat itu.

Pasca COP-26

Semua negara saat ini diminta untuk meninjau kembali dan memperkuat target NDC mereka pada tahun 2022 ini, terutama yang tidak selaras dengan tujuan penurunan suhu bumi. Jika 1,5°C ingin dicapai, dibutuhkan ambisi yang lebih besar.

Kelompok di luar pemerintahan (non-state actors) termasuk para pelaku usaha, LSM, akademisi, praktisi dan masyarakat sipil perlu bertanya pada dirinya sendiri bagaimana bisa membantu menekan kenaikan temperatur hingga tidak lebih dari 1,5°C.

Negara-negara maju perlu datang dan hadir dalam COP27 tahun depan di Sharm El-Sheikh, Mesir dengan komitmen pendanaan yang lebih tinggi dan keinginan untuk menyelesaikan masalah loss and damage.

Sebelum COP26, banyak laporan dirilis untuk memperingatkan pemerintah tentang konsekuensi dari kegagalan untuk memangkas emisi. Pakta Iklim Glasgow secara langsung merujuk pada batu bara dan bahan bakar fosil, menjanjikan target baru untuk mengakhiri deforestasi, dan mendesak Para Pihak untuk mempercepat pengajuan rencana pengurangan karbon mereka.

Tindakan ini menunjukkan tekad yang lebih kuat untuk menutup kesenjangan reduksi emisi yang ada. Jika tidak segera ditangani, menurut para ahli, akan meningkatkan suhu bumi sampai 2,40C dan membawa akibat yang lebih buruk bagi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi ini.

Meskipun menetapkan target yang lebih tinggi mencerminkan kemajuan, tidak banyak yang bisa memastikan bahwa kegagalan untuk memenuhi janji tidak akan terulang lagi. Negara-negara maju belum memenuhi janji mereka selama satu dekade untuk mengirimkan bantuan USD100 miliar ke negara-negara berkembang setiap tahun. Inisiatif pengurangan laju deforestasi nampaknya gagal memenuhi harapan. Mengakhiri penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil berjalan lambat meskipun ada seruan keras dalam beberapa tahun terakhir ini untuk melakukannya. 

Jalan Kerikil Ke Depan

Pemanasan bumi yang terus berlangsung hingga saat ini sesungguhnya merupakan akibat dari pola produksi, perdagangan, dan konsumsi yang berlebihan, yang diperkuat oleh sistem subsidi dan aturan pajak yang salah. Seiring dengan memburuknya iklim, meningkatnya ketidaksetaraan, dan penggunaan bahan kimia yang meracuni kehidupan di daratan dan di perairan, hilangnya keanekaragaman hayati secara cepat, dan gangguan siklus alam adalah konsekuensi langsung dari pilihan kebijakan dan praktek-praktek bisnis yang selama ini berjalan.

Menurut para akhli, sekitar 15 persen kegiatan ekonomi di dunia mungkin berkelanjutan, namun 85 persen sisanya tidak jelas. Jadi, yang 15 persen harus diperluas, dan yang 85 persen perlu dihapus dengan cepat. Inti dari kegagalan ini adalah sistem ekonomi global dan agenda ekonomi nasional.

Negara-negara maju berusaha untuk mempertahankan gaya hidup intensif dengan pemanfaatan sumber daya pada tingkat tertentu. Di sisi lain, negara-negara berkembang bercita-cita untuk mengangkat populasi mereka keluar dari kemiskinan dan meningkatkan standar hidup mereka, mungkin dengan meniru negara-negara maju.

Eksploitasi sumber daya alam secara terus-menerus tidak dapat dihindari untuk mendukung model ekonomi semacam itu. Langkah-langkah seperti deforestasi dengan demikian secara inheren sulit untuk dilakukan.

Selanjutnya, energi murah sangat penting untuk menjaga biaya produksi secara keseluruhan tetap rendah. Tidak mengherankan bahwa bahasa yang disederhanakan seperti “penurunan bertahap” penggunaan batubara dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien berhasil menjadi kesepakatan akhir. Dengan demikian selama alasannya masuk akal secara sosial dan ekonomi, penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil akan tetap ada.

Jika diibaratkan pemanasan global dan perubahan iklim seperti kendaraan yang sedang melaju kencang karena remnya blong, maka COP-26 yang lalu adalah momentum yang tepat untuk menyelamatkan diri. Ada kerusakan di sepanjang jalur jalan yang dilaluinya, dan masih banyak lagi kerusakan yang ada di depan mata. Jalan yang harus dilalui ke depan masih panjang dan berliku-liku.

Kita berharap dalam COP 27 tahun ini yang akan berlangsung di Mesir, jalan tersebut akan semakin membaik sehingga upaya penyelamatan bumi bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih baik sebelum pertengahan abad ini. Semoga….