08 Apr Cerita Tentang Perang Rusia-Ukraina Dan Perubahan Iklim
Perang dan Pasokan Energi Rusia
Perang sudah pasti akan menjadi pemicu berbagai hal yang sebelumnya bahkan tidak pernah terpikirkan. Terlepas dari semua pemicunya, perang merobek semua sisi kehidupan. Mulai dari ekonomi, kemanusiaan, energi, dan juga lingkungan. Semua tiba-tiba berubah oleh perang.
Perang antara Rusia dan Ukraina ini berdampak bukan saja kepada kedua negara, tetapi juga ke negara-negara tetangganya, bahkan seluruh dunia. Ukraina sebagai negara pengekspor gandum terbesar di dunia, sementara Rusia merupakan produsen minyak dan gas terbesar nomor tiga di dunia, perang antara keduanya menyebabkan pasokan kedua jenis komoditi vital ini sangat terganggu.
Masalah pasokan gandum dan pangan mungkin tidak terlalu signifikan dibanding dengan terganggunya pasokan energi dari Rusia ke seluh dunia, terutama ke EU atau negara-negara European Union. Seperti diketahui, setelah terjadinya bencana di pembangkit nuklir Fukushima Jepang di tahun 2011, negara-negara Eropa, terutama Jerman, telah melakukan penutupan pembangkit nuklir yang segenerasi dengan PLTN Fukushima. Akibatnya pemintaan untuk bahan bakar meningkat, dan mereka akhirnya meningkatkan pembelian gas dari Rusia melalui pipa gas transbenua, yang akhirnya malah meningkatkan ketergantungan, bahkan kecanduan.
Bagi Rusia sendiri, yang ekspor per harinya adalah 700 juta USD untuk minyak dan 400 juta USD untuk gas, pendapatan dari penjualan minyak dan gas ini sangat besar dan salah satu penyumbang pendapatan negara terbesar. Di sisi lain, ketergantungan negara-negara Eropa, terutama jerman, akan gas dan juga minyak serta batubara dari Rusia menyebabkan mereka dilematis. Menghentikan suplai gas pasti akan menyebabkan terhentinya pasokan listrik dan gas di seluruh perumahan penduduk dan separuh lebih industri.
Karena itu, mungkin untuk sementara, nilai tawar Rusia terhadap negara-negara Eropa untuk masalah pasokan energi tetap sangat tinggi. Negara-negara Eropa, terutama Jerman, saat ini harus berpikir seribu kali bila hendak memutuskan untuk menghentikan pasokan energi dari Rusia. Membeli dari negara lain jelas akan memakan waktu dan biaya yang jauh lebih besar, karena produksi energi tidak serta-merta bisa ditingkatkan, sementara akan membutuhkan penambahan infrastruktur yang tidak sedikit. Ini karena pasokan energi dari Rusia melalui darat, sementara kalau menggantikannya harus menambah kapasitas pelabuhan dan receiving terminal.
Pasokan Energi Terbarukan
Bagaimana kemudian dengan energi terbarukan di Jerman dan negara-negara Eropa lain, apakah sanggup untuk menggantikan pasokan energi Rusia?
Jerman dan negara Eropa lain memang dikenal dengan pengembangan energi terbarukannya, terutama energi surya dan angin. Bahkan energi surya dan angin yang mereka produksi beberapa kali pernah 100% memasok kebutuhan listrik di seluruh negara. Tapi itu dalam kondisi “angin sedang bagus-bagusnya”. Dalam keadaan normal, tetap saja gas merupakan sumber energi utama.
Masalahnya adalah energi terbarukan seperti juga jenis energi lainnya membutuhkan infrastruktur yang biayanya tinggi. Tingginya pasokan energi terbarukan ke grid listrik bukan sulapan, dibutuhkan waktu penelitian berpuluh tahun yang kemudian diikuti oleh pengembangannya, sehingga tetap saja tidak bisa diadakan dalam waktu semalam.
Dan salah satu kelemahan dari energi surya dan angin adalah adanya intermittency atau tidak kontinyunya pasokan. Angin dan surya tidak setiap saat ada dan bisa memasok energi. Untuk mengatasi hal ini biasanya dipasang battery, sehingga saat tidak ada angin atau surya, listrik dari battery bisa menggantikannya.
Tapi ini dengan teknologi yang sekarang pun akan membutuhkan biaya yang bahkan lebih dari 2 kali lipat untuk investasinya disbanding tanpa battery. Dan sekali lagi hal ini juga tidak bisa dibangun dalam semalam.
Kembali ke Batubara
Apabila tidak ada pilihan lain, maka pilihan terburuk akan dipilih. Hal ini berlaku juga bagi Jerman dan negara-negara Eropa lain. Untuk menghindari risiko diputus atau dihentikannya mendadak apsokan energi dari Rusia, yang artinya akan melumpuhkan seluruh Eropa, mau tidak mau akhirnya mereka menggunakan kembali jenis energi paling kotor yang selama ini dihindari, yaitu minyak, dan terutama batubara.
Eropa berusaha mengurangi ketergantungan akan gas dan minyak dari Rusia, rencananya adalah minimal dua pertiga di akhir tahun ini, akibatnya adalah industri-industri mulai lagi mengaktifkan boiler-boiler dan turbin-turbin yang berbahan bakar batubara. Akibatnya harga batubara naik lebih dari 3 kali lipat.
Negara pengekspor batubara berpesta suka cita. Eropa harus menanggung malu karena selama ini yang paling kencang bersuara pencegahan penggunaan batubara menjadi pontang-panting membeli batubara, dengan harga berapa pun.
Selama ini dari tahun 2010-2020, negara-negara Eropa sudah berusaha mengurangi PLTU batubara mereka. Tidak kurang dari 40% dari total jumlah pembangkit sudah dipensiunkan. Mereka menggantikannya dengan pembangkit energi terbarukan dan PLTU gas. Gas meskipun pembangkit berbahan dasar fosil, tapi jauh lebih bersih dibandingkan dengan PLTU batubara. Dan gas juga secara perlahan akan digantikan oleh pembangkit energi terbarukan sesuai dengan skenario “Net Zero Emission” Eropa.
Itu rencananya.
Pencegahan Perubahan Iklim Bagaimana?
Perang dengan pencegahan perubahan iklim memang bertolak belakang. Secara langsung perang akan mengakibatkan dilepasnya gas-gas rumah kaca atau GRK karena adanya pengeboman, kebakaran, maupun berbagai senyawa kimia yang dilepas. Perang mempercepat perubahan iklim, itu pasti.
Dampak ikutan yang kemudian sekarang sudah sangat terlihat adalah beralihnya, “sementara”, PLTU gas negara-negara Eropa ke PLTU batubara. Pembangkit batubara yang sudah akan dipensiunkan mendadak harus dioperasikan lagi. Negara-negara Eropa lebih memprioritaskan kondisi darurat dibanding pencegahan perubahan iklim yang jangka panjang. Sudah pasti emisi GRK mereka akan melonjak tajam, sudah tidak sesuai lagi dengan janji mereka melalui NDC (Nationally Determined Contribution) yang mereka bangga-banggakan, dan telah disampaikan ke seluruh dunia.
Negara-negara Eropa bermaksud untuk membangun energi terbarukan dan bahkan nir emisi dalam jangka panjang, tetapi terpaksa harus beremisi jauh lebih tinggi daripada yang mereka perkirakan sebelumnya.
Kalau kemudian Eropa tetap memegang komitmennya dalam pencegahan perubahan iklim, akan membutuhkan tambahan biaya yang sangat besar untuk “memperbaiki kerusakan” dan “menambal kebocoran” yang diakibatkan peningkatan pemakaian batubara.
Sinyal dari Pasar Karbon
Salah satu sistem “Pasar Karbon” terbesar di dunia adanya di Eropa, namanya adalah EU-ETS atau European Union Emission Trading Scheme. Negara-negara Eropa yang tergabung di dalam European Union atau EU telah melakukan implementasi pembatasan emisi untuk industri-industri mereka sejak tahun 2005.
Industri-industri di wilayah Eropa diharuskan untuk membatasi emisi GRK yang dilepaskan dengan memberi jatah untuk beremisi (atau disebut allowances). Bagi industri yang mampu untuk menurunkan emisi di bawah ambang yang ditetapkan, maka industri tersebut boleh memperdagangkan jatah untuk beremisi ke industri lain yang tidak mampu untuk mengurangi emisinya sehingga membutuhkan allowances atau jatah untuk beremisi.
Inilah yang disebut sebagai sistem cap and trade, atau batasi dan perdagangkan, yang lazim disebut juga perdagangan emisi atau “pasar karbon”. Yang diperdagangkan kemudian adalah hak untuk beremisi dan yang kemudian bisa juga digantikan oleh carbon credit di dalam satuan yang sama, setara ton karbon dioksida (CO2e). Pasar EU-ETS ini bernilai milyaran euro transaksinya dalam per tahunnya.
Pada tahun 2021, Jerman mendapatkan transaksi penjualan allowances sebesar 5,3 milyar euro (sekitar 83 trilyun) dari EU-ETS, sementara untuk pasar domestiknya berhasil mendapatkan 7,2 milyar euro (sekitar 112,7 trilyun rupiah). Dana tersebut kemudian digunakan lagi untuk kegiatan penurunan emisi dan peningkatan kesejahteraan penduduknya.
Sampai sekarang jumlah industri yang diwajibkan dalam penurunan emisi lebih dari 15.000 industri dan 1.500 perusahaan penerbangan, yang mencakup lebih dari 40% total emisi seluruh negara-negara Eropa.
EU-ETS atau pasar karbon Eropa inilah yang kemudian ikut bergejolak parah seiring dengan serangan Rusia ke Ukraina. Di awal Maret 2022, harga allowances di EU-ETS telah terjerembab dari 95,07 euro per ton CO2e ke harga 58,3 euro per ton CO2e. Ini artinya adalah biaya untuk ijin beremisi 1 ton setara karbon dioksida yang sebelumnya harganya 95,07 euro telah turun drastic menjadi 58,03 euro.
Tentu saja ini bukan biaya riil implementasi, tetapi adalah harga yang terbentuk karena pemerintah negara-negara Eropa memberikan ijin batasan yang sangat ketat kepada industrinya untuk beremisi. Batasan atau cap ini bahkan semakin tahun semakin diperketat, sementara industrinya semakin banyak dan berkembang. Karena itu terbentuklah harga.
Gambar 1. Gejolak harga allowances atau jatah emisi di EU-ETS.
Yang menarik kemudian adalah terjadinya bounce back atau naiknya lagi harga allowances di tanggal 17 Maret 2022 sampai menyentuh angka 78 euro per ton CO2e karena meningkatnya kepercayaan industri dan pasar bahwa pemerintah negara-negara Eropa tetap akan tidak berubah targetnya terhadap pengurangan emisi dan perubahan iklim. Malah mungkin akan meningkat.
Secara teoritis memang seharusnya terjadi peningkatan harga allowances karena ada peningkatan emisi yang diakibatkan peningkatan pemakaian batubara, sementara target dan batasan emisinya tetap. Guncangan sesaat di pasar diharapkan akan stabil kembali, dan meningkatkan transaksi perdagangan dan nilai barang dagangan.
Akibatnya secara langsung adalah industri di negara-negara Eropa akan semakin mahal biaya produksinya karena bukan hanya biaya energinya, terutama batubara, yang meningkat, tetapi juga biaya lingkungannya meski pun diperkirakan dalam jangka pendek. Akibat lain adalah dalam jangka panjang akan semakin marak peningkatan upaya dan teknologi efisiensi dan energi terbarukan.
Setiap krisis energi menghasilkan inovasi baru untuk lingkungan.
Bagaimana Indonesia?
Indonesia adalah salah satu negara yang sebenarnya menikmati keuntungan dan mendapat pemasukan besar dari krisis energi di Eropa. Terutama pihak swastanya. Terutama lagi adalah produsen dan eksportir batubara dan CPO.
Akibatnya batubara harganya meningkat luar biasa, begitu pula CPO. Baik batubara dan CPO keduanya digunakan sebagai energi alternatif di Eropa sekarang ini, untuk mengurangi ketergantungan gas dari Rusia. Batubara digunakan secara langsung untuk menggantikan gas, sementara CPO diolah menjadi biofuel untuk menggantikan BBM Rusia.
Sebenarnya, secara tidak langsung, Indonesia bukan saja berdagang dengan Eropa, tetapi juga berkontribusi dalam peningakatan emisi Eropa, bahkan dunia. Keuntungan yang didapat sementara oleh negara produsen dan konsumen, harus dibayar dalam jangka waktu lama oleh masyarakat dan dunia.
Walau begitu tentu saja hal ini tidak berlaku selamanya. Akan ada keseimbangan baru untuk pasokan energi Eropa, juga peningkatan lagi kegiatan penurunan emisi. Artinya batubara akan ditendang lagi keluar Eropa apabila keamanan pasokan energi dan pencegahan perubahan iklim mengalami keseimbangan.
Yang kemudian harus dipikirkan dan disegera dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan dan membuat kerjasama-kerjasama antar pemerintah maupun bisnis dengan Negara-negara Eropa, dalam hal penurunan emisi. Kerjasama antar negara seperti misalnya antara Indonesia dengan Jerman maupun dengan kawasan dalam hal pencegahan perubahan iklim sangat dimungkinkan untuk bisa ditingkatkan.
Kerjasama dalam pengembangan teknologi energi terbarukan maupun pencegahan perubahan iklim lainnya juga akan sangat terbuka lebar, terutama karena negara-negara Eropa sendiri mempunyai kewajiban penurunan emisi, yang untuk sementara akan sangat mahal dan sulit, apabila dilakukan sendiri. Karena itu peluang kerjasama ini akan sangat bisa dilakukan, termasuk dalam hal pengembangan perdagangan emisi antar negara. Apalagi Indonesia sendiri adalah negara tuan rumah G20, yang akan dihadiri oleh negara-negara Eropa, dan juga Rusia., maka akan semakin mudah dilakukan.
Jadi bersama kita akan bisa menurunkan emisi GRK dan mencegah perubahan iklim, bukan sebaliknya. Seperti yang terjadi sekarang.
Dicky Edwin Hindarto
Jabal Golfie, 7 April 2022
Penulis adalah penggemar isu perubahan iklim