Mitra Hijau | Indonesia dan COP 26
Perubahan Iklim, COP26, Indonesia, Perjajian Paris, Penurunan Emisi GRK, Yayasan Mitra Hijau
16858
post-template-default,single,single-post,postid-16858,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

Indonesia dan COP 26

Indonesia dan COP 26

Hampir setiap tahun sejak 1995, para pemimpin dunia bertemu secara langsung untuk membahas respons global terhadap krisis iklim, dalam pertemuan yang dikenal sebagai Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak. Para pihak itu adalah lebih dari 190 negara yang telah menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) atau badan iklim PBB. COP-UNFCCC adalah konvensi terbesar dibandingkan dengan konvensi lainnya di bawah naungan PBB.

Sejumlah kepala negara direncanakan hadir pada acara ini. Akan tetapi, China, penghasil emisi terbesar di dunia, belum mengonfirmasi kehadiran Presiden Xi Jinping dalam COP 26. Presiden RI Joko Widodo menurut informasi akan hadir, didampingi oleh beberapa menteri yang terkait dengan perubahan iklim.
Di bawah Perjanjian Paris yang merupakan hasil kesepakatan COP 21, para pihak sepakat untuk mematok kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2,0 derajat celsius dibandingkan suhu global sebelum revolusi industri abad ke-18. Namun, dengan berupaya agar kenaikan tersebut maksimal 1,5 derajat celsius untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang lebih besar.

Untuk mewujudkan hal ini, para pihak diminta memberikan kontribusi yang ambisius melalui rencana aksi nasional masing-masing. Rencana itu disebut dengan nationally determined contribution (NDC). Dalam COP 26 yang dijadwalkan berlangsung 1-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, untuk pertama kalinya para pihak akan meninjau kembali NDC terbarunya. Sejauh ini, 113 negara telah mengajukan rencana NDC baru atau yang diperbarui. Namun, menurut perhitungan para ahli, total rencana penurunan emisi ini belum cukup untuk membatasi kenaikan temperatur hingga 1,50 celsius dan memenuhi tujuan Perjanjian Paris.

Poin penting

Apa yang akan menjadi poin penting? Tahun 2021 dianggap sebagai tahun yang menentukan untuk menghadapi darurat iklim global, karena jendela peluang untuk menurunkan kenaikan temperatur bumi semakin berkurang. Lebih dari 30.000 orang yang datang dari sekitar 190 negara diperkirakan akan hadir secara luring, walaupun beberapa acara kemungkinan akan diadakan secara daring. Kontroversi terbesarnya adalah apakah komitmen yang telah disepakati di Paris lima tahun lalu cukup untuk membatasi dampak terburuk dari perubahan iklim? Masalah pelik pendanaan iklim kemungkinan akan menjadi sangat penting bagi keberhasilan COP 26.

Pada 2009 negara-negara maju yang bertanggung jawab atas emisi terbesar berjanji mengumpulkan 100 miliar dollar AS per tahun pada 2020 untuk membantu negara-negara berkembang yang emisinya sangat rendah untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, janji mereka meleset dari sasaran. Ini berisiko merusak kepercayaan dan kesediaan negara-negara berkembang untuk menurunkan emisinya secara ambisius.

Selain masalah keuangan, ada juga topik yang belum terselesaikan dari Perjanjian Paris yang belum disepakati oleh para pihak, yaitu tentang aturan dan mekanisme pasar karbon. Mekanisme ini memungkinkan suatu negara membeli kredit karbon dari negara lain, dan mengatasi apa yang disebut loss and damage (kerugian dan kerusakan) akibat dampak perubahan iklim.

Posisi Indonesia

Indonesia telah diminta untuk menjadi co-chair dalam COP 26 ini. Selain harapan besar para pihak akan peran aktif Indonesia di arena global, ini juga pertanda bahwa isu perubahan iklim akan menjadi semakin penting di dalam negeri. Namun, harapan global sesungguhnya belum terefleksikan dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional. Ini tecermin dalam kontribusi Indonesia yang dituangkan dalam NDC yang baru. Climate Action Tracker mencatat Indonesia tak sungguh-sungguh membantu penurunan emisi global.

Target penurunan emisi nasional masih tetap tak berubah seperti tahun lalu, yaitu 29-41 persen dibandingkan emisi yang dikeluarkan jika tak melakukan apa-apa (business as usual). Selain itu, tidak seperti target COP 26, Indonesia tampaknya ”belum berani” mematok 2050 sebagai netral karbon. Sektor energi, khususnya batubara, masih jadi ganjalan dalam mendukung target global ini. Walau pemerintah merencanakan akan mulai menghentikan PLTU batubara pada 2025, ekspor batubara tetap akan berjalan hingga 2046, dan ini berarti sulit untuk memenuhi target netral karbon tahun 2050.

Alasan klasik yang mempertentangkan peluang ekonomi dengan konservasi lingkungan masih tetap menjadi tantangan berat. Nilai ekspor batubara Indonesia sepanjang 2019 mencapai 18,96 miliar dollar AS, dan volume ekspor batubara sepanjang 2020 mencapai 405 juta ton. Sebagian besar merupakan ekspor ke India dan China. China mengonsumsi separuh batubara dunia, tetapi saat ini berada di bawah tekanan internasional untuk mengurangi penggunaan batubara di dalam negeri, seperti telah dilakukan banyak negara, termasuk Inggris dan AS.

Momentum COP 26 sangat tepat untuk me-refresh (memikirkan kembali) dan memacu pembangunan ekonomi hijau yang bebas emisi, dan menggali sumber-sumber energi baru dan terbarukan. Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan sumber energi matahari, energi angin, energi air, dan energi nuklir yang aman dan terstruktur, sembari memajukan pengembangan energi biomassa, dan tenaga laut sesuai dengan kondisi lokal dan nasional.

Menuju Indonesia Bersih 2060

Pada 18 September 2021 Presiden Jokowi menjadi satu dari 10 kepala pemerintahan dunia yang mengikuti dan berbicara dalam kesempatan Major of Economies on Energy and Climate 2021 Forum. Pertemuan yang diinisiasi Presiden AS ini bertujuan meningkatkan komitmen penurunan gas rumah kaca (GRK) global sehingga bisa menekan kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius dibandingkan suhu sebelum revolusi industri abad ke-18, sesuai dengan hasil Perjanjian Paris 2015.

Pertemuan ini secara politis akan berdampak terhadap agenda perubahan iklim global di Glasgow. Menurut CAT Climate Target Tracker, dari sekitar 195 negara yang meratifikasi UNFCCC, kurang dari separuhnya telah menyampaikan target penurunan emisi GRK yang baru. Itu pun tak semua menyampaikan target ambisius. AS, Inggris, Uni Eropa, Norwegia, dan Kanada adalah contoh negara maju yang telah menyampaikan target dengan ambisi yang lebih besar.

Sementara contoh negara berkembang ialah Argentina, Kosta Rika, Etiopia, Kenya, Peru, dan Bhutan. Indonesia masih menargetkan reduksi emisi seperti sebelumnya, yaitu 29-41 persen, turun dibandingkan 2010. Umumnya semua negara mematok 2050 sebagai target net zero emission (NZE) atau emisi bersihnya. Beberapa negara maju menyampaikan target NZE tercapai sebelum 2050. Perancis, Italia, Jerman, Inggris, dan AS sudah menyampaikan rencana mereka ke Sekretariat UNFCCC. Australia, Rusia, dan Brasil, karena berbagai alasan, menyampaikan target yang justru lebih rendah, atau sama dengan sebelumnya.

China, pengemisi terbesar selain AS, walaupun baru mengusulkan target penurunan emisi yang lebih tinggi, mematok netral karbon pada 2060. Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia dan memiliki potensi serapan karbon sangat besar juga tak antusias meningkatkan ambisinya. Sebaliknya, Swedia lebih ambisius dengan menyatakan tekad untuk mencapai NZE pada 2045.

Menurut skenario Bappenas, Indonesia bisa mencapainya asalkan paling lambat 2027 sudah terjadi peak, artinya jumlah emisi CO² mencapai jumlah maksimal pada tahun tersebut, dan setelah itu harus turun. Keterlambatan satu tahun saja dalam menurunkan emisi bisa menyebabkan NZE mundur 5-10 tahun. Jika peak baru dicapai 2033-2034, NZE akan terjadi pada 2060-2070.

Hutan vs energi

Mengacu pada dokumen NDC, kehutanan dan alih guna lahan merupakan pengemisi terbesar dibandingkan sektor lain (industri, pertanian, dan sampah). Namun, kurang dari sepuluh tahun dari sekarang (2030), emisi sektor energi akan bertambah secara signifikan, dari 400.000-an GT menjadi 1,7 jutaan GT setara CO², atau naik sekitar 3-4 kali lebih besar dari emisi 2010. Sebaliknya, emisi sektor kehutanan dan alih guna lahan terus menurun dari sekitar 650.000 GT CO² pada 2010 menjadi 200.000 GT. Dengan demikian, pada 2030, emisi sektor energi diperkirakan lebih dari dua kali lipat sektor kehutanan dan alih guna lahan.

Wajar jika perhatian pada sektor energi terus meningkat hingga saat ini. Sudah banyak yang telah dilakukan pemerintah (state actor), pelaku bisnis, dan masyarakat (nonstate actors) untuk mempertahankan agar kenaikan suhu bumi tak melebihi 2,0 celsius, bahkan 1,50 celsius seperti diminta dalam Perjanjian Paris.

Contoh konkret dari tindakan ini adalah penggunaan energi yang baru dan terbarukan; mengonservasi hutan alam yang ada dan masih baik; melakukan reboisasi, penghijauan, dan rehabilitasi hutan-hutan alam, gambut, dan mangrove yang rusak; penggunaan transportasi yang berbahan bakar bebas fosil, seperti biofuel, dan mengembangkan mobil listrik; menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga air, angin, dan nuklir; merancang pembangunan gedung-gedung hijau yang bebas emisi; serta seribu satu macam inisiatif ekonomi hijau lain dari masyarakat dan pelaku usaha.

Kemitraan  state dan non-state actors adalah kunci keberhasilan menangani perubahan iklim. Keduanya saling mendukung dalam melaksanakan ekonomi hijau. Syaratnya, transparansi, saling keterbukaan dalam menyampaikan tujuan, sasaran, program, dan aktivitas.