18 Oct KRISIS IKLIM GLOBAL DAN HARAPAN PADA PEMERINTAHAN BARU
Oleh: Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau
Hanya dalam hitungan hari, secara legal Indonesia akan memiliki pemimpin negara yang baru, dan ini berarti dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, visi dan missi pengelolaan negara akan menentukan arah dan kebijakan perubahan iklim di tingkat lokal, nasional, dan global.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan menentukan arah tujuan dan kebijakan perubahan iklim, tetapi hal yang sama akan terjadi di lebih dari 75 negara di seluruh dunia yang terletak di berbagai belahan dunia: Amerika, Uni Eropa, Afrika dan Asia, termasuk India dan Indonesia. Tahun 2024 rupanya telah menjadi tahun pemecahan rekor pemilu global. Lebih dari empat miliar orang terlibat dalam ajang pemilu ini, dan ini berarti telah mewakili lebih dari separuh populasi dunia saat ini. Hanya Australia saja yang baru akan menenyelenggarakan pemilunya tahun 2025 mendatang.
Visi, misi dan gaya kepemimpinan baru menentukan komitmen negara untuk penyelesaian krisis iklim. Ambil contoh Amerika Serikat (AS), misalnya. Apabila Donald Trump berhasil menang dan menggantikan Joe Bidden, maka kebijakan perubahan iklim Amerika Serikat akan berbalik 180 derajat. Donald Trump tidak mempercayai perubahan iklim karena menurutnya akan melemahkan ekonomi AS. Buntutnya akan sangat panjang dan akibatnya sangat buruk karena hegemony AS dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. AS akan serta merta membatalkan komitmen Perjanjian Paris dan menarik semua proyek bantuannya untuk krisis iklim. Demikian pula negara-negara Uni Eropa akan melakukan hal yang serupa, dan akibatnya target Kesepakatan Paris untuk menahan laju kenaikan suhu bumi rata-rata di atas 1,50 semakin tidak menentu.
Posisi Indonesia
Walaupun Indonesia tidak seluas Amerika dan Rusia, namun emisi dari Indonesia diperkirakan akan terus meningkat karena jumlah penduduknya yang nomor empat terbesar di dunia. Menurut Professor Yoichi Kaya, Kepala Lembaga Inovasi Teknologi untuk Bumi dari University of Tokyo, jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfir bergantung pada jumlah penduduk yang melakukan berbagai aktivitas ekonomi (anthropogenic emission), besarnya PDB (semakin tinggi PDB, gaya hidup manusianya samakin boros energi), dan jenis energi yang digunakan (renewable atau non-renewable energy?). Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, maka emisi dari Indonesia juga akan besar.
Selain itu, Indonesia memiliki hutan tropis terbesar nomor tiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Hutan tropis memiliki kemampuan menyerap emisi empat kali lipat lebih lebih besar dibandingkan dengan hutan sub-tropis, temperate dan boreal di luar daerah tropis. Hutan tropis Indonesia yang luasnya sekitar 126 juta ha atau 10% dibandingkan luas hutan dunia karena itu berperan penting untuk menjaga stabilitas iklim global. Ditambah lagi keberadaan hutan gambut sekitar 20 juta ha, atau sekitar 10% daratan Indonesia, menambah pentingya Indonesia di mata global. Lahan gambut Indonesia mempunyai peran penting dalam mengurangi pemanasan global, karena memiliki kapasitas pengimpanan karbon sebesar 30% karbon global.Komitmen Indonesia dalam penurunan emisi global yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) karena itu banyak ditentukan keberhasilan dalam menangani kehutanan dan alih guna lahan (termasuk gambut dan mangrove) serta keberhasilan dalam meningkatkan penggunaan energi bersih, renewable energy dan efisiensi energi.
Apabila kemudian ambisi penurunan emisi global melalui kesepakatan Paris bisa diterapkan dengan sebaik-baiknya oleh para Kepala Negara baru di banyak belahan dunia, maka bukan tidak mungkin Indonesia juga dapat mencapai tingkat emisi nol atau Net Zero Emision pada pertengahan abad ini.
Harapan Pada Pemerintahan Baru
Perubahan iklim adalah masalah global, antar bangsa dan antar generasi. Karena itu Pemerintah baru perlu memahami hal ini dengan sebaik-baiknya dan dengan seutuh-utuhnya. Tidak bisa hanya dipahami dan dilakukan secara parsial, dengan tambal sulam dan sebagai pelengkap saja. Yang perlu dipahami adalah bahwa perubahan iklim dicirikan oleh tiga isu. Yang pertama adalah ‘long term span issue’, yaitu bahwa perubahan iklim terjadi dalam kurun waktu yang amat panjang, bisa 10, 20 atau 30 tahun bahkan 100 tahun ke depan, dan telah terjadi sejak dua abad yang lalu yaitu sejak jaman pra revolusi industri abad 18. Yang kedua, ‘borderless issue”, artinya berdampak tanpa dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan, bahkan tanpa batas negara dan bahkan benua. Yang ketiga, scientific based issue”, yaitu kejadian dan dampaknya merupakan hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh lebih 2000 peneliti yang tergabung dalam Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC) yang hasilnya dilaporkan secara berkala (tujuh tahun sekali) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Dengan melihat ketiga ciri tersebut, maka perubahan iklim tidak bisa ditangani hanya oleh satu rejim pemerintahan saja, tapi harus dipastikan keberlanjutannya oleh rejim-rejim pemerintahan mendatang. Selain itu, karena kompleksitas masalah, maka diperlukan kerjasama bukan saja di tingkat nasional, tetapi mulai dari tingkat tapak (Desa/Kecamatan/Kota/Kabupaten/Propinsi), nasional, regional, dan bahkan internasional. Juga karena sifatnya yang lintas sektor, maka perlu ditangani oleh Lembaga tersendiri yang bertanggung jawab langsung pada Kepala Negara.
Selama ini perubahan iklim ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan secara khusus berada pada Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim. Nampaknya posisi ini perlu ditingkatkan sehingga menjadi Kementerian Perubahan Iklim, atau Kementerian Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup. Pemerintah telah meratifikasi berbagai kesepakan perubahan iklim global mulai dari Kyoto Protokol, Bali Action Plan sampai dengan Paris Agreement melalui berbagai undang-undang. Kemudian disusul oleh kebijakan pemerintah lainnya, termasuk Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai target NDC dan untuk pengendalian emisi GRK. Perpres 98 kemudian diterjemahkan oleh Kementerian terkait dalam berbagai peraturan atau keputusan Menteri untuk implementasi di tingkat operasional.
Sudah saatnya kini Indonesia memiliki UU Perubahan Iklim yang akan menjadi fondasi berdirinya Lembaga Perubahan Iklim setingkat Kementerian. Dengan berdirinya Lembaga ini, maka masalah perubahan iklim diharapkan bisa ditangani dalam jangka panjang dengan lebih serius, lebih sinergis, lebih koordinatif dan lebih efektif. Yang lebih penting lagi, lembaga seperti ini perlu dipastikan keberadaannya dalam jangka panjang, tanpa peduli siapapun nanti yang akan mengelola negeri ini.