Mitra Hijau | COP-UNFCCC: PERLU REFORMASI NEGOSIASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL  
COP 29, Perubahan Iklim Global, Net Zero Emission,Climate Crisis, Climate Change, Yayasan Mitra Hijau,UNFCCC
17212
post-template-default,single,single-post,postid-17212,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

COP-UNFCCC: PERLU REFORMASI NEGOSIASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL  

COP-UNFCCC: PERLU REFORMASI NEGOSIASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL  

Oleh: Doddy S. Sukadri, Penasihat Senior, Institute for Sustainable Earth Resources (I-SER) Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau

Konferensi iklim tingkat tinggi tahunan sedunia yang biasa disebut COP (Conference of the Parties) ke-29 yang digelar di Baku, Azerbaijan baru saja ditutup pada tanggal 24 Nopember 2024 yang lalu, molor dua hari dari yang dijadwalkan. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change -UNFCCC) yang diadopsi 198 negara pada tahun 1992 itu bertujuan untuk “menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya pada sistem iklim”. Konvensi ini mulai diberlakukan pada tahun 1994, dan tak lama setelah itu, COP-1 dimulai di Berlin pada tahun 1995.

Ini berarti sudah lebih dari seperempat abad COP diselenggarakan, dan selama itu paling tidak COP telah memperoleh tiga capaian penting (milestones). Yang pertama COP-3 tahun 1997 di Jepang yang menghasilkan Kyoto Protocol; yang kedua COP-13 tahun 2007 di Bali yang keluar dengan Bali Action Plan; dan yang ketiga COP-21 tahun 2015 di Perancis dan menghasilkan Paris Agreement. Bila di dalam Kyoto Protocol hanya negara2 maju saja yang diwajibkan menurunkan emisinya, maka dalam Paris Agreement semua negara berkewajiban menurunkan emisinya yang dituangkan dalam NDC. Bali Action Plan merupakan capaian penting karena berhasil meletakkan dasar2 solusi perubahan iklim ke depan yang mencakup lima aksi iklim utama yaitu mitigasi, adaptasi, pendanaan, teknologi transfer dan capacity building. Kelima hal tersebut pada saat ini sepenuhnya tertuang dalam Paris Agreement.

Evaluasi Pelaksanaan COP

Sampai saat ini COP sudah berlangsung selama hampir tiga dekade, namun sayangnya temperatur bumi terus meningkat dan krisis iklim global terus berlanjut. Laporan ilmiah ke-6 tahun 2022 yang disusun oleh para pakar yang tergabung dalam Panel Antar pemerintah tentang perubahan iklim (Inter-governmental Panel on Climate Change -IPCC) menunjukkan bahwa batas kenaikan 1,50 Celcius kemungkinan besar akan sulit dikendalikan dan akan mengakibatkan dampak buruk perubahan iklim.

Dunia saat ini masih tertinggal dari perubahan iklim. Meskipun kita telah mencapai kemajuan besar dalam 25 tahun, terdapat kegagalan dalam banyak hal. Selama 25 tahun terakhir konsentrasi GRK masih jauh dari stabil. Para pakar memprediksi tahun 2024 bakal menjadi tahun terpanas dalam sejarah, melampaui suhu 1,50 C di atas suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri pada abad 18.

Sejak berdirinya UNFCCC, konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat sekitar 50%, yaitu dari 358 ppm pada tahun 1994 menjadi 421 ppm pada tahun 2022. Sulitnya mencapai kesepakatan Para Pihak yang dihadapi dalam negosiasi COP selama ini berlawanan dengan tujuan UNFCCC untuk mewujudkan bumi yang lebih baik di masa depan. Hal inilah nampaknya yang membuat banyak pihak menjadi pesimistik.

Disamping itu, kurangnya komitmen pemerintah di seluruh dunia tampaknya menjadi bagian dari kegagalan ini. Laporan IPCC tentang Sintesis Enhanced National Determined Contribution menyatakan bahwa penurunan rata-rata suhu global di bawah 20 C tidak akan cukup jika negara-negara tidak memberikan perhatian yang cukup serius dan tidak menunjukkan target penurunan emisi GRK yang ambisius. Alasan politik dan ekonomi lebih menjadi prioritas utama di banyak negara katimbang urgensi untuk mengatasi krisis iklim.

Desakan Global Reformasi COP  Seruan untuk mereformasi penyelenggaraan COP semakin bergema pada saat berlangsungnya COP-29 di Baku, Azebaijan. Para pemimpin dunia, eminant persons, kaum ilmuan dan advokat menyampaikan surat terbuka kepada Sekretariat UNFCCC. Penandatangan surat tersebut termasuk Ban Ki-moon, mantan Sekretaris Jenderal PBB, Christiana Figueres, mantan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Mary Robinson, mantan presiden Irlandia, Sandrine Dixson-Declève, ketua eksekutif Earth4All dan duta global Club of Rome, Johan Rockström, serta Direktur Institut Potsdam untuk Penelitian Aksi Iklim. Surat terbuka tersebut pada dasarnya mendesak untuk melakukan ‘perombakan mendasar’ dalam pelaksanaan COP yang sudah dilakukan selama hampir 30 tahun. Secara khusus, para penanda tangan surat juga meminta UNFCCC untuk beralih dari negosiasi ke implementasi sehingga memungkinkan setiap negara untuk mewujudkan komitmen yang disepakatinya guna memastikan berlangsungnya transisi energi dan menghapus penggunaan energi fosil. Meskipun dalam surat tersebut diakui adanya kemajuan, namun disebutkan bahwa kemajuan tersebut belum cukup cepat untuk menghindari dampak iklim yang semakin buruk. Tanpa rencana pengurangan emisi nasional sukarela yang diajukan berdasarkan Perjanjian Paris, pemanasan global akan terus berlanjut dan kenaikan suhu bumi rata2 akan meningkat sampai 4 hingga 5 derajat Celcius  pada tahun 2100, walaupun proyeksi terbaru berdasarkan laporan IPCC adalah sekitar 2,9 derajat Celcius untuk kenaikan rata rata suhu global pada akhir abad ini. Perbaikan yang disarankan mencakup tujuh hal mendasar, namun tiga diantaranya cukup menarik. Yang pertama adalah mengubah proses seleksi bagi negara calon tuan rumah COP untuk mengeluarkan negara yang tidak mendukung penghentian bertahap dan transisi dari sumber energi fosil. Negara-negara tuan rumah di masa depan harus menunjukkan “ambisi tingkat tinggi untuk menegakkan tujuan Perjanjian Paris. Yang ke dua adalah perlunya menyederhanakan kecepatan dan skalanya: Pertemuan COP harus diubah menjadi pertemuan yang lebih kecil, lebih sering, dan berbasis solusi untuk mempercepat tindakan dan memungkinkan penyesuaian tepat waktu berdasarkan temuan ilmiah yang dilakukan para pakar perubahan iklim. Yang ke tiga, adalah meningkatkan implementasi dan akuntabilitas. Proses COP harus diperkuat dengan mekanisme untuk membuat negara-negara akuntabel terhadap target dan komitmen iklim mereka.

Proposal Indonesia Sebagai salah satu lembaga penelitian, Institut of Sustainable Earth Resources menyambut gagasan reformasi COP dengan sangat suka cita, karena gagasan tersebut bukan hal baru bagi I-SER. Hal ini telah mulai dilakukan sejak dua tahun lalu, sebelum COP-29 diselenggarakan di Baku. Gagasan para pemuka iklim sedunia yang tertuang dalam tujuan ke dua saat tengah digagas I-SER bekerjasama dengan Climateworks Center dan Monash University. Tahun lalu (2023) di Durban, gagasan ini dimunculkan di Paviliun Indonesia COP-28 dengan mengundang Professor Jeffrey Sachs. Berdasarkan pengamatan dan diskusi team I-SER dengan tokoh-tokoh terkemuka selama acara COP-28 di Durban, setidaknya terdapat tiga refleksi dalam menjembatani kesenjangan antara negosiasi iklim global dan aksi iklim yang diperlukan.

Pertama, kita perlu memajukan konsep upaya kolektif dan mewujudkan tindakan nyata terhadap perubahan iklim. Beberapa ide yang muncul seputar proposal ini adalah fokus pada strategi jangka panjang kolektif dan menerjemahkannya ke dalam komitmen jangka pendek di bawah Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution – NDCs); untuk menetapkan strategi regional dan pendekatan berbasis teknologi dalam mempercepat aksi iklim di tingkat nasional dan sub-nasional; untuk membangun arsitektur keuangan global yang kondusif agar mobilisasi keuangan yang diperlukan dapat berjalan; dan untuk menguji dan menerapkan model terobosan untuk mendanai modal finansial untuk transisi iklim.

Kedua, kita perlu ‘menyesuaikan’ model COP yang ada dan mekanismenya. Ini berarti COP yang ada dan berjalan selama ini dapat dilanjutkan namun dengan skala yang lebih kecil. Kemudian dilakukan pendekatan tematik atau regional di antaranya. Dengan melakukan hal ini, acara COP regional yang lebih kohesif dapat diselenggarakan untuk meringankan beban konferensi iklim besar-besaran setiap tahun. Cara lain untuk mencapai hal ini adalah dengan meniru keterlibatan tiga pihak dalam kepresidenan COP di masa lalu, saat ini, dan masa depan seperti yang dilakukan Indonesia saat menjadi ketua G20 dan/atau ASEAN.

Ketiga, kita perlu mengakui dan memasukkan peran penting dan dukungan dari Non-state actors (NSA) ke dalam negosiasi formal COP. Dalam banyak kasus, terdapat banyak kesepakatan, janji, atau perjanjian kolaborasi selama COP antara NSA dalam meningkatkan aksi iklim, bukan hanya ambisi; namun hal ini tidak ‘dimasukkan’ ke dalam tindak lanjut formal hasil negosiasi. Alasan lain mengenai betapa pentingnya NSA adalah karena mereka sering kali ‘mengamankan’ Pemerintah, yang biasanya memiliki kepentingan politik yang berbeda-beda setiap tiga hingga lima tahun sekali, tergantung pada rezim pemerintahan yang berkuasa saat itu.

Sebagai Lembaga Pendidikan yang independen, I-SER akan terus mengangkat proposal ini dan memanfaatkan dukungan para eminant persons melalui surat terbukanya di COP-29 untuk mendefinisikan kembali masa depan COP. Bersama-sama, sebagai Pemerintah dan Non-State Actors, reformasi COP ini dapat terus dikembangkan. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk membentuk masa depan di mana dunia bersatu melawan tantangan perubahan iklim, membina komunitas global yang berkelanjutan, adil, dan inklusif.