Mitra Hijau | Perempuan di Sekitar Tambang Belajar Sosial Media dan Kepemimpinan,untuk Suarakan Keresahan di Sektor Energi
17238
post-template-default,single,single-post,postid-17238,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

Perempuan di Sekitar Tambang Belajar Sosial Media dan Kepemimpinan,untuk Suarakan Keresahan di Sektor Energi

Perempuan di Sekitar Tambang Belajar Sosial Media dan Kepemimpinan,untuk Suarakan Keresahan di Sektor Energi

SAMARINDA – Perempuan menjadi yang terdampak dari praktik-praktik pertambangan di Kalimantan Timur. Sementara, perempuan tak banyak diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Beragam hal jadi sebab ruang sempit untuk perempuan bersuara ini. Sedangkan dunia saat ini, tengah mengarahkan rodanya pada sektor energi hijau.

Sebagai penghasil batu bara utama di negeri ini, Kalimantan Timur pun lagi bersiap-siap mengurangi ketergantungan pada sektor energi fosil. Pemerintah telah membuat forum konsultasi daerah (FKD) untuk percepatan transformasi ekonomi hijau. Forum ini, diisi dari berbagai elemen. Termasuk nantinya perwakilan perempuan dan mereka yang hidup di sekitar pertambangan.

Maka dari itu, Yayasan Mitra Hijau kembali mengumpulkan puluhan perempuan dari berbagai desa di sekitar tambang batu bara dan organisasi perempuan dari Samarinda juga Kutai Kartanegara. Para perempuan ini, pada April 2025 sudah sepakat membentuk Forum Dialog Perempuan Untuk Transformasi Ekonomi Kalimantan Timur.

Yayasan Mitra Hijau terus memfasilitasi upaya belajar para perempuan ini. Kali ini, mereka belajar soal kepemimpinan, sosial media, dan berbicara di publik. Mereka belajar soal bagaimana menyuarakan keresahannya, pada Senin 2 Juni 2025 di Samarinda.

Communication Strategist Yayasan Mitra Hijau Fardilla Astari, memaparkan perempuan paling merasakan dampak kerusakan lingkungan, air tercemar, lahan rusak, udara kotor. Juga, perempuan kebanyakan saat ini menanggung beban di rumah tangga seperti urus air, pangan, dan anak, yang semuanya akan langsung terdampak krisis ekologis.

“Tetapi perempuan jarang diajak bicara saat ada proyek atau keputusan penting. Padahal, perempuan tahu persis apa yang dibutuhkan keluarga atau komunitas,” jelas Fardilla.

Sayangnya, peran perempuan kerap direduksi hanya di dapur. Padahal, Perempuan bisa menjadi penjaga alam di lingkungan sekitar. Mereka juga bisa bersuara ketika diberi kesempatan dalam musyawarah desa, forum transformasi ekonomi, hingga konsultasi publik. Perempuan bisa jadi penggerak ekonomi alternatif. Membangun solidaritas dan perempuan bisa meriuhkan media sosial dengan cerita dan aksi nyata.

“Media sosial bisa jadi alat dakwah, edukasi, dan inspirasi. Suara ibu-ibu penting didengar:
soal lingkungan, keluarga, dan kehidupan sekitar. Lewat media sosial, kita bisa
saling menguatkan tanpa harus keluar rumah. Kuota boleh hemat, tapi semangat kita harus tetap kuat!” sambungnya.

Fardilla pun memberikan kiat teknis bersosial media. Para peserta pun juga langsung praktik membuat konten soal energi untuk media sosialnya.

Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman Nurliah yang juga menjadi pemateri memaparkan, kepemimpinan perempuan yang terdampak pertambangan batu bara sangat penting untuk mendorong transformasi ekonomi berkelanjutan.

“Perempuan dapat menjadi agen perubahan dalam memastikan bahwa manfaat ekonomi dari pertambangan benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” paparnya.

Meski begitu, diakui Yayuk Anggraini, akademisi Universitas Mulawarman yang juga jadi pemateri, tidak mudah bagi perempuan untuk jadi pemimpin dan bersuara. Salah satu sebabnya adalah stereotipe gender. Perempuan kerap mendapat stereotip bahwa mereka kurang tegas, kurang percaya diri, dan tidak kompeten. Padahal, kepemimpinan perempuan memiliki keunggulan. Seperti berorientasi pada etika dan keberlanjutan. Unggul dalam kolaborasi, komunikasi, dan kecerdasan emosional. Juga ketahanan dalam krisis.
“Perempuan pandai mengelola perubahan dan tantangan,” tegasnya.

Maka dari itu, perlu adanya upaya pengarusutamaan gender dan mendorong perempuan untuk berperan dan vokal pada isu-isu publik. Sebab, pengalaman perempuan akan lebih sahih disampaikan perempuan.

Untuk diketahui, sejak 2024, para perempuan dari berbagai organisasi dan komunitas sudah mengikuti berbagai diskusi terpumpun hingga workshop. Kegiatan tersebut diorganisir oleh Yayasan Mitra Hijau sebagai bagian dari program Transisi Energi yang Berkeadilan (IKI-JET), yang mendapat dukungan finansial dari Inisiatif Iklim Internasional dari Kementerian Federal Jerman untuk Urusan Ekonomi dan Aksi Iklim (BMWK) serta Uni Eropa melalui Perjanjian Hibah dengan GIZ. (yayasan mitra hijau)