Mitra Hijau | Bencana Iklim: Belajar dari Sumatera
Loss and Damage Perubahan Iklim, Defeorestasi, Krisis Iklim, Banjir Badang, Sumatra, Padang, Aceh, Medan, Yayasan Mitra Hijau
17272
wp-singular,post-template-default,single,single-post,postid-17272,single-format-standard,wp-theme-bridge,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

Bencana Iklim: Belajar dari Sumatera

Bencana Iklim: Belajar dari Sumatera

Oleh: Rachmat Witoelar: Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Doddy S. Sukadri (Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau), and Ari Mohammad (Pakar Adaptasi Perubahan Iklim)

Pada 3 November 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperbarui ringkasan dampak banjir dan tanah longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. BNPB mengungkapkan bahwa hingga sore hari tanggal 3 Desember 2025, jumlah korban tewas telah mencapai 807 orang, dengan 647 orang hilang dan 2.600 orang luka-luka. Selain itu, 3.600 rumah rusak berat, 299 jembatan hancur dan jumlah penduduk yang mengungsi meningkat menjadi 582.500 orang di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. BNPB juga mencatat kerusakan rumah dan fasilitas umum.

Bencana Iklim
Secara umum, banjir yang terjadi baru-baru ini di Sumatera terkait dengan perubahan iklim melalui dua faktor utama: pertama, akibat peristiwa cuaca ekstrem dan kedua, akibat degradasi lingkungan jangka panjang akibat ulah manusia. Dengan demikian, perubahan iklim menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem secara global. Badai Siklon Tropis Senyar adalah penyebab bencana tersebut. Siklon ini disebut sebagai depresi tropis di Samudra Pasifik Barat Laut. Kemudian siklon ini diperkuat oleh kondisi atmosfer dan samudra, seperti gelombang khatulistiwa dan La Nina. Bencana ini merupakan peristiwa langka di dekat Khatulistiwa, yang memicu hujan lebat dan berkepanjangan baru-baru ini di Sumatera.

Banjir bandang Jumat (28/11/2025) Padang, Sumatera Barat, (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Sementara itu, penting untuk dicatat bahwa bencana ini diperparah oleh faktor-faktor lokal seperti penggundulan hutan dan buruknya pengelolaan lahan, yang meningkatkan kerentanan wilayah dengan menyebabkan erosi tanah dan mengurangi kapasitas lahan untuk menyerap air. Penebangan hutan untuk kegiatan seperti pertanian, pertambangan dan penebangan hutan menghilangkan kanopi alami yang seharusnya memperlambat curah hujan dan menahan tanah di tempatnya. Hal ini menyebabkan peningkatan erosi dan limpasan tanah, sehingga membebani daerah aliran sungai (DAS).

Selain itu, praktik pengelolaan lahan yang buruk dan kurangnya penegakan hukum terhadap aktivitas seperti penebangan liar memperburuk masalah ini, mengubah banjir yang dulunya dapat dikelola menjadi bencana yang mematikan. Dengan demikian, degradasi lingkungan menyebabkan lahan kurang mampu menahan peningkatan curah hujan, yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor yang dahsyat ketika peristiwa cuaca ekstrem ini terjadi.

Solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim pada dasarnya hanya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mitigasi dan adaptasi. Yang pertama adalah segala sesuatu yang dapat kita lakukan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di lapisan atmosfer, dengan atau tanpa bantuan teknologi. Yang kedua, adaptasi, adalah segala upaya untuk mengurangi kerentanan akibat dampak negatif perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan jika terjadi bencana iklim. Semakin besar upaya mitigasi dilakukan, maka semakin kecil aksi adaptasi yang perlu diperlukan. Sebaliknya, semakin kurang aksi mitigasi yang diupayakan, maka semakin besar diperlukan aksi adaptasi.

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan laporan terkait lainnya, sekitar 98 sampai 99% bencana di Indonesia dipicu oleh iklim dan cuaca yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 99 ribu Km, dan ini adalah terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada. Akibatnya ketergantungan pada ekosistem laut dan daratan menjadi signifikan. Dampak  kenaikan permukaan air laut mengancam pulau2 kecil dan wilayah pesisir, dan menimbulkan peningkatan cuaca ekstrem seperti badai, banjir dan kekeringan. Oleh karena itulah maka adaptasi menjadi sangat penting bagi Indonesia.

Agenda Global

Loss and Damage (Kerugian dan Kerusakan), dan Pembiayaan Adaptasi merupakan bagian sangat penting dalam negosiasi perubahan iklim global. Dalam pertemuan puncak iklim baru-baru ini, yaitu pada COP-30 UNFCCC yang diselenggarakan di Belem Brazil, adaptasi menjadi salah satu pokok agenda COP30-UNFCCC, isu adaptasi semakin mengemuka karena kaitannya dengan semakin seringnya bencana iklim yang terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang.Inisiatif global seperti indikator Tujuan Global untuk Adaptasi (Global Goal on Adaptation – GGA) dan Membangun Implementasi Investasi Nasional (Fostering Investible National ImplementationFINI) merupakan salah satu hasil utama COP-30. Para Pihak COP sepakat untuk menggandakan pendanaan adaptasi menjadi target tahunan sebesar USD120 miliar. Ini merupakan rangkaian indikator pertama yang mengukur kemajuan adaptasi global, dan rencana untuk lebih banyak inisiatif yang dipimpin secara lokal.

Jalan ke Depan

Indonesia perlu secara tegas menyampaikan urgensi adaptasi perubahan iklim. Hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi yang dicapai seringkali terkuras oleh biaya pemulihan pasca bencana. Belum lagi meningkatnya kerugian sosial dan ekologis yang disebabkan oleh dampak iklim. Oleh karena itu, adaptasi harus diposisikan sebagai pilar utama dalam mengatasi risiko jangka panjang, memastikan bahwa wilayah dan masyarakat benar-benar tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Dari segi teknologi, Indonesia telah memiliki beragam perangkat dan sistem, termasuk sistem peringatan dini yang terus dikembangkan. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan sumber pendanaan yang tersedia (baik nasional maupun internasional) secara efektif untuk mendukung prioritas aksi iklim yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Narasi ini penting untuk dikembangkan agar masyarakat dapat merasakan manfaat langsung dari aksi iklim. Pendekatan ini juga berfungsi sebagai koreksi terhadap narasi yang selama ini terlalu didominasi oleh perdagangan karbon.

Perdagangan karbon seharusnya dilihat sebagai hasil akhir dari upaya serius untuk melindungi hutan, menerapkan kebijakan efisiensi energi, dan mengembangkan energi terbarukan. Jika narasinya dibalik, maka publik dan para pemangku kepentingan akan memandang isu iklim sebagai sesuatu yang jauh dari kebutuhan dan logika kehidupan sehari-hari.

Area perhatian lainnya adalah penguatan peran masyarakat sipil. Masyarakat sipil harus mampu mempercepat dan meningkatkan isu perubahan iklim melalui pembelajaran, bukti pencapaian yang terukur, dan akuntabilitas yang jelas (baik kepada publik maupun pemerintah). Dengan demikian, persiapan menghadapi bencana iklim di masa mendatang tidak akan lebih kuat dari sebelumnya. Jika ekosistem ini terbangun, pemerintah akan lebih mudah merumuskan kebijakan Indonesia dan mengambil tindakan yang tepat, yang kuat, lebih komprehensif, dan relevan dengan konteks regional serta memenuhi kepentingan adaptasi global.

Namun, faktor yang memperburuk bukan hanya kondisi iklim ekstrem, tetapi terutama lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka terus mengabaikan langkah-langkah adaptasi yang jelas direkomendasikan oleh UNFCCC, yang seharusnya menjadi landasan utama untuk membuat perencanaan aksi adaptasi. Ada dua landasan dasar dalam membuat perencanaan adaptasi. Pertama adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang disebut KLHS dan yang kedua adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Yang pertama dilakukan pada tingkat kebijakan, rencana, dan program untuk memastikan pembangunan berkelanjutan; sedangkan yang kedua dibuat pada tingkat proyek untuk menilai dampak spesifik dari suatu kegiatan bisnis. Dalam banyak kasus, baik KLHS maupun AMDAL sering diperlakukan sebagai formalitas birokrasi belaka, kurang integritas dan komitmen untuk menjadikannya sebagai instrumen perlindungan lingkungan yang mengikat.Lebih lanjut, rendahnya kesadaran lembaga berwenang dengan mandat kebijakan dan kapasitas teknis untuk mengantisipasi dan memitigasi dampak, ditambah dengan kurangnya kepedulian terhadap risiko ekologis di kalangan sektor bisnis dan sebagian anggota masyarakat, menciptakan siklus kerentanan yang berulang. Investasi hanya dilakukan dalam jangka pendek, pemanfaatan lahan tetap eksploitatif, dan kapasitas adaptif tidak pernah benar-benar diperkuat.

Namun, faktor yang memperburuk bukan hanya kondisi iklim ekstrem, tetapi terutama lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka terus mengabaikan langkah-langkah adaptasi yang jelas direkomendasikan oleh UNFCCC, yang seharusnya menjadi landasan utama untuk membuat perencanaan adaptasi. Ada dua landasan dasar dalam membuat perencanaan adaptasi. Pertama adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang disebut KLHS dan yang kedua adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Yang pertama dilakukan pada tingkat kebijakan, rencana, dan program untuk memastikan pembangunan berkelanjutan; sedangkan yang kedua dibuat pada tingkat proyek untuk menilai dampak spesifik dari suatu kegiatan bisnis. Dalam banyak kasus, baik KLHS maupun AMDAL sering diperlakukan sebagai formalitas birokrasi belaka, kurang integritas dan komitmen untuk menjadikannya sebagai instrumen perlindungan lingkungan yang mengikat.

Lebih lanjut, rendahnya kesadaran lembaga berwenang dengan mandat kebijakan dan kapasitas teknis untuk mengantisipasi dan memitigasi dampak, ditambah dengan kurangnya kepedulian terhadap risiko ekologis di kalangan sektor bisnis dan sebagian anggota masyarakat, menciptakan siklus kerentanan yang berulang. Investasi hanya dilakukan dalam jangka pendek, pemanfaatan lahan tetap eksploitatif, dan kapasitas adaptif tidak pernah benar-benar diperkuat.

Dalam situasi ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) harus mengambil peran strategis sebagai lembaga yang tidak hanya memberikan peringatan dini, tetapi juga secara aktif, tegas, dan konsisten mengingatkan seluruh pemangku kepentingan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat. Oleh karena itu, BMKG perlu diberi kewenangan dan ruang politik yang lebih kuat, agar setiap peringatan bencana tidak lagi dianggap sekadar informasi tambahan, melainkan sinyal ilmiah yang harus segera ditindaklanjuti dengan tindakan yang diperlukan. Dengan demikian, kita dapat memutus mata rantai kelalaian kolektif yang menyebabkan terulangnya tragedi serupa.

Semoga!