15 Jan BELAJAR DARI BENCANA LOS ANGELES: CONTOH NYATA DARI TIGA KRISIS GLOBAL
Bencana kebakaran hebat yang baru baru ini terjadi di Los Angeles, California dipicu oleh musim kering yang panjang dan anomali iklim yang ekstrem sehingga menyebabkan kebakaran hutan yang luar biasa hebatnya dan melebar kemana-mana. Para ilmuwan di ClimaMeter, Amerika Serikat menyampaikan hasil penelitian mereka yang menunjukkan bahwa perubahan iklim membuat California Selatan beberapa derajat lebih panas sehingga menyebabkan udara di sekitarnya 15 persen lebih kering dan 20 persen lebih berangin. Hal tersebut merupakan kondisi ideal yang memicu kebakaran hutan yang berkobar hebat dan menyebar dengan cepat.Bencana kebakaran hutan yang kemudian menyebar membakar lebih dari 10 ribu bangunan dan menyebabkan puluhan kematian ini sebenarnya bukan yang pertama terjadi di wilayah Los Angeles dan negara bagian California. Bencana ini seperti rutinitas yang terjadi tiap tahun walau dengan skala yang berbeda. Dan tahun ini adalah yang terparah karena semakin parahnya perubahan iklim yang memicu angin kering dan panas Santa Ana menyebarkan lelatu api ke berbagai arah dan akhirnya memicu kebakaran objek lain selain hutan dan lahan.Hal yang serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan atau karhutla bukan sesuatu yang baru. Membandingkan luas lahan yang terbakar di California dengan kebakaran hutan dan lahan yang pernah terjadi di Indonesia, sampai dengan tulisan ini dibuat, luas lahan dan bangunan yang terbakar di California sekitar 40 ribu hektar. Sementara kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang pernah terjadi di tahun 2023 saja adalah seluas 900 ribu hektar, sementara kebakaran hutan dan lahan yang terbesar di tahun 2015 adalah seluas 2,6 juta hektar. Perbedaan yang paling mencolok antara kebakaran di California dan Indonesia adalah di California bukan hanya hutan dan lahan yang terbakar, tapi angin Santa Ana memicu hangusnya puluhan ribu bangunan yang kemudian menjadi pemberitaan global. Sementara jutaan hektar hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia terjadi di daerah yang lebih jarang penduduknya, dengan tingkat perekonomian yang jauh lebih rendah dari di California. Akibatnya adalah penduduk California, apalagi para selebritis, akan lebih cepat pulih dari akibat kebakaran, sementara penduduk Indonesia yang menderita kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa melihat sisa hutan yang terbakar dengan cepat beralih fungsi menjadi perkebunan milik perusahaan.Perbedaan lain adalah penyebab kebakaran hutan selama ini yang terjadi di California didominasi oleh faktor alam dan perubahan iklim, semakin parahnya perubahan iklim telah memicu kebakaran di California, sementara di Indonesia sebaliknya. Faktor kesengajaan pembakaran hutan dan lahan adalah pemicu terbesar terjadinya kebakaran hutan lahan di Indonesia, sementara kekeringan panjang dampak perubahan iklim dan El Nino telah memperparah keadaan. Tapi bencana di Los Angeles dan California lah yang kemudian banyak menggugah kesadaran global bahwa perubahan iklim benar-benar nyata adanya. Apabila negara sebesar dan secanggih US saja kemudian sangat kedodoran mengatasi kebakaran, bagaimana dengan negara lain, apalagi negara berkembang dan negara miskin, pasti akan jauh lebuh parah.
Bencana California, dan juga di Indonesia, adalah contoh nyata bahwa saat ini sedang berlangsung tiga krisis lingkungan yang dihadapi planet bumi, dan dikenal dengan Triple Planetary Crisis (TPC). TCP menggambarkan tantangan global pada saat ini, dan akan menentukan kehidupan di Planet Bumi pada masa depan. Krisis iklim, krisis hilangnya keanekaragaman hayati dan krisis polusi (termasuk limbah) merupakan tiga hal yang dihadapi umat manusia dan makhluk hidup lainnya di seluruh dunia pada saat ini dan di masa depan. Namun ironisnya, konsekuensi paling parah akan dirasakan oleh pihak-pihak yang sesungguhnya bukanlah penyebab terjadinya krisis.
Dari ketiga krisis tersebut, masing-masing memiliki sebab dan akibatnya, dan setiap masalah perlu diselesaikan jika kita menghendaki masa depan bumi yang lebih baik. Perubahan iklim adalah masalah paling mendesak yang dihadapi umat manusia. Sederhananya, perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca yang dalam jangka waktu yang sangat panjang akan sepenuhnya mengubah ekosistem yang mendukung kehidupan di muka bumi ini.
Manusia adalah pendorong utama terjadinya perubahan iklim karena hampir semua aktivitas kehidupan manusia mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer dan menyebabkan pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim. Lebih dari 90% emisi GRK diakibatkan karena kegiatan manusia atau disebut anthropogenic emission. Termasuk di dalamnya adalah penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, alih guna lahan dan kehutanan, kegiatan industri, transportasi, pembangunan sarana dan prasarana fisik, serta kegiatan kegiatan pertanian dalam skala luas.
Konsekuensi dari perubahan iklim saat ini sudah terlihat melalui peningkatan intensitas dan frekuensi bencana kekeringan di berbagai belahan dunia, kelangkaan air, kebakaran hutan, naiknya permukaan air laut, banjir, pencairan es kutub, badai bencana dan penurunan keanekaragaman hayati.
Perubahan iklim juga membawa ancaman berikutnya yaitu hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss) yang menyebabkan penurunan atau hilangnya keanekaragaman hayati, yang meliputi flora, fauna dan ekosistemnya. Hilangnya keanekaragaman hayati disebabkan berbagai hal. Misalnya pembukaan hutan untuk berbagai kegiatan pembangunan menyebabkan hilangnya habitat satwa liar dan berbagai jenis pohon dan tumbuhan langka dan dilindungi. Semakin maraknya alih tataguna lahan dari tanaman multikultur (hutan) menjadi monokultur (perkebunan dan pertanian) ini akan menyebabkan hancurnya ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati, berkurangnya serapan karbon dioksida, berkurangnya kemampuan dalam menangkap air hujan, dan dalam jangka panjang akan menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa besar.
Dalam kurun waktu yang lama, perubahan iklim juga bisa mengakibatkan desertifikasi (penggurunan) seperti yang terjadi di beberapa negara di Afrika. Hilangnya keanekaragaman hayati juga berdampak pada rantai pasokan makanan fauna dan akses untuk memperoleh air bersih untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan kata lain, perubahan iklim menyebabkan terjadinya peningkatan kemiskinan manusia dan hancurnya alam sekitar.
Triple Planetary Crisis yang terakhir adalah polusi (Pollution) yang mengacu pada berbagai bentuk pencemaran, seperti pencemaran air, udara dan tanah serta sampah. Pencemaran udara menurut para ahli menjadi penyebab terbesar penyakit dan kematian dini di seluruh dunia. Selanjutnya disampaikan bahwa setiap tahun lebih dari tujuh juta orang meninggal dunia sebelum waktunya akibat polusi yang berdampak pada kesehatan manusia.
Menurut para ahli, sembilan dari sepuluh orang di seluruh dunia menghirup udara yang mengandung tingkat polutan yang melebihi standar yang ditetapkan WHO. Polusi tersebut disebabkan oleh berbagai hal mulai dari asap kendaraan, industri hingga kebakaran hutan dan gunung berapi. Penyebab polusi lainnya adalah polusi udara rumah tangga, bahan bakar dan teknologi yang mencemari udara, yang secara komulatif menyebabkan sekitar 3,8 juta kematian di dunia pada tahun 2016 saja.
Kerugian Sosial dan Ekonomi
Konsekuensi dari ketiga krisis tersebut sangatlah besar bagi umat manusia. Menurut para ahli, kematian akibat bencana yang berhubungan dengan iklim telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Berikutnya, berbagai bencana akibat perubahan iklim telah mengakibatkan 21,5 juta orang mengungsi setiap tahunnya. Bencana dimaksud termasuk kenaikan permukaan air laut yang memaksa terjadinya dislokasi, banjir, kekeringan, dan badai yang lebih ekstrim dan lebih sering terjadinya. Hal ini berarti bukan bukan hanya kerugian materiil yang sangat besar, tetapi juga biaya lingkungan yang luar biasa besarnya.
Menurut perhitungan para ahli, perubahan iklim telah memangkas nilai ekonomi dunia sebesar USD 23 triliun pada tahun 2050. Negara-negara maju seperti AS, Kanada, dan Prancis kehilangan antara enam sampai sepuluh persen dari output ekonomi potensial mereka. Sedangkan bagi negara-negara berkembang, dampak perubahan iklim bahkan lebih mengerikan. Malaysia dan Thailand, misalnya, melihat pertumbuhan ekonomi mereka menurun sebesar 20 persen dari apa yang yang ditargetkan pada tahun 2050. Sementara untuk Indonesia, angka ini masih belum dihitung.
Hilangnya keanekaragaman hayati merugikan perekonomian global sebesar 10 persen dari outputnya. Sementara kerugian akibat polusi diperkirakan mencapai USD 4,6 triliun per tahun, belum lagi jutaan nyawa yang menjadi korban akibat polusi udara, air, dan tanah.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Upaya global utuk solusi perubahan iklim sejauh ini masih jauh dari harapan. Menurut IPCC, kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) saat ini menempatkan dunia pada jalur kenaikan suhu global sebesar 2,6 hingga 2,8°C, dan ini artinya telah melewati target Paris Agreement (1,5 sampai 2,00 C). Kenaikan suhu seperti ini akan menimbulkan dampak iklim yang jauh lebih buruk dibandingkan yang kita alami saat ini.
Untuk mencapai target 1,5°C, NDC baru harus mengurangi 42 persen emisi GRK pada tahun 2030 dan 57 persen pada tahun 2035. Untuk mencapai tujuan ini, atau mendekati pencapaiannya, pendekatan sirkular ekonomi harus diutamakan dalam melakukan aksi-aksi iklim. Alasannya karena model pertumbuhan linier kita yang mengambil, membuat, dan membuang limbah dalam memproduksi barang-barang konsumsi merupakan pendorong utama dari seluruh krisis yang terjadi di seluruh bagian dunia. Selain itu, sirkularitas dapat membantu memperlambat perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampaknya, melindungi kesehatan, dan meningkatkan ketahanan makroekonomi, serta mengurangi biaya bahan baku dan konsumsi energi. Selain sirkularitas, efisiensi energi adalah hal penting yang bisa dilakukan disamping transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Dalam hal pengembangan kendaraan listrik, maka yang perlu dipikirkan adalah cara untuk memaksimalkan umur baterainya. Dalam hal ini diperlukan inovasi teknologi yang mudah dan murah agar penggunaan baterai tersebut bisa lebih efisien, diperbaiki, diproduksi kembali, dan didaur ulang (recycle). Terkait dengan masalah sampah, khususnya sampah plastik, menurut informasi hanya sembilan persen sampah plastik yang selama ini didaur ulang. Sebagian besar sisanya dibuang ke tempat pembuangan sampah, dibakar, atau berakhir di sungai dan lautan serta di lahan terbuka lainnya. Sementara itu, 95 persen nilai material kemasan plastik hilang setelah penggunaan pertama yang singkat.
Untuk mengatasi tiga krisis global ini, semua negara perlu meningkatkan kerja sama guna menciptakan kebijakan yang tepat. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan pada saat ini antara lain adalah transisi ke energi bersih yang berkeadilan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan manajemen limbah dan reduksi polusi. Untuk itu, semua pihak, baik pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat harus berkolaborasi, dan secara bersama sama menyelesaikannya. Bagi masyarakat, banyak hal yang dapat dilakukan, antara lain menghemat penggunaan sumber daya, seperti air, listrik dan energi serta tindakan ramah lingkungan lainnya yang dapat meminimalisir terjadinya pemborosan sumber daya alam serta tercemarnya lingkungan hidup.
Di sisi bisnis dan perusahaan, praktik-praktik produksi dan industri yang berwawasan lingkungan dengan mendahulukan kepentingan masyarakat sekitar adalah suatu kemutlakan. Segala bentuk kecurangan implementasi bisnis seperti pembakaran hutan, perusakan lingkungan, dan konflik dengan Masyarakat harus dihentikan. Sementara praktik keberlanjutan bisnis seperti implementasi ESG (Environment Social Governance), pengurangan emisi GRK, dan peningkatan serapan karbon harus didahulukan.
Untuk pemerintah, kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan Masyarakat, serta bukan hanya bertujuan untuk peningkatan pemasukan negara dan memperkaya pelaku bisnis saja, adalah satu hal yang paling diharapkan sekarang. Kebijakan pemerintah sangat diharapkan bisa transparan, akuntabel, dan tidak berubah-ubah. Dan di dalam praktiknya kemudian, oligarki dan KKN hanya akan memperparah krisis iklim dan menambah jumlah masyarakat miskin, bukan sebaliknya.
Karena itu target pengurangan emisi nasional yang kemudian disampaikan oleh pemerintah melalui NDC (Nationally Determined Contribution) yang ke dua, peluang untuk berbuat lebih baik bisa dilakukan. Keseriusan pemerintah untuk melakukan transisi energi dan serta menjaga alam dan lingkungan Indonesia, harus benar, yang sekarang mulai lagi dipertanyakan, sangat ditunggu masyarakat Indonesia. Keberpihakan pemerintah untuk tetap menjaga hutan dan alam, dan bukan menambah bisnis swasta yang pada akhirnya hanya akan menambah emisi GRK dan memperburuk ekonomi masyarakat, adalah sesuatu yang sangat diharapkan sebagian besar rakyat Indonesia.
Berdasarkan catatan Sekretariat UNFCCC, kenaikan temperature rata-rata permukaan bumi telah mencapai 1,5 derajat Celsius tahun 2024 kemarin, yang artinya akan semakin sulit untuk mengerem percepatan terjadinya perubahan iklim. Untuk itu kontribusi Indonesia sebagai negara yang mampu untuk ikut menentukan arah kebijakan iklim dunia, sekaligus sebagai salah satu negara yang paling terdampak, sangat dibutuhkan. Di saat kepemimpinan negara maju melemah, maka negara berkembang seperti Indonesia akan bisa maju ke depan dan menjadi contoh Bagaimana suatu bangsa bisa berkontribusi bagi kemaslahatan umat manusia dalam pengurangan perubahan iklim.
Penulis:
Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau dan Dicky Edwin Hindarto Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau