Mitra Hijau | MENGHADIRKAN KEMENTRIAN PERUBAHAN IKLIM
Kemeterian Perubahan Iklim Indonesia, REDD+, Net Zero Emission, Perubahan Iklim, D, Emisi Gas Rumah Kaca, NDC, AFOLU Net Sink, Yayasan Mitra Mijau
17177
post-template-default,single,single-post,postid-17177,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-17.2,qode-theme-bridge,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.8.0,vc_responsive

MENGHADIRKAN KEMENTRIAN PERUBAHAN IKLIM

MENGHADIRKAN KEMENTRIAN PERUBAHAN IKLIM

Oleh: Doddy S. Sukadri,

Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, dan Pengamat Perubahan Iklim

Dalam beberapa pekan ke depan proses adu visi dan misi serta wacana pembangunan bangsa dan negara yang diusung para capres dan cawapres akan berakhir. Apabila semuanya berjalan lancar, pemilihan presiden dan wakil presiden akan berlangsung bulan depan, tepatnya tanggal 14 Februari 2024. Walaupun diwarnai ketidak puasan dan kekecewaan di sana sini, ketiga pasang capres dan cawapres tetap konsisten dalam beradu pandangan, visi, misi, dan wacana apabila nanti terpilih menjadi pemimpin negeri ini untuk lima tahun mendatang. Masa kepemimpinan presiden dan wakil presiden Indonesia akan sangat menentukan dan sekaligus menjadi warisan bagi pemimpin setelahnya.

Salah satu isu penting yang dibahas dan diusung oleh ketiga pasangan capres dan cawapres adalah isu perubahan iklim. Pasalnya, isu ini sangat penting dalam melawan tantangan krisis iklim yang mengancam semua kehidupan makhluk hidup, bukan hanya manusia, tetapi seluruh makhluk hidup termasuk berjuta-juta jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup di bumi; juga bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Ironisnya, lebih dari 80 persen krisis iklim disebabkan ulah manusia yang tidak peduli, dengan mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berlebihan, sehingga terperangkap di lapisan atmosfir dan menimbulkan pemanasan global yang berujung pada krisis iklim.

Mengapa Harus Paham?

Hampir semua orang tahu tentang perubahan iklim, tapi tidak semua paham apa artinya, apa penyebabnya, apa bahayanya dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Bicara perubahan iklim adalah bicara masa depan yang tidak terbatas. Bukan hanya 5 -10 tahun, bukan pula 20-50 tahun, tapi bahkan lebih dari 100 tahun. Perubahan iklim juga tidak mengenal batas administrasi negara dan benua, apalagi batas provinsi, kabupaten dan kota. Dengan begitu, maka perubahan iklim menjadi isu global antar negara, dan antar generasi dalam jangka panjang (borderless and long-term inter generation issue).

Itulah yang menyebabkan isu ini diangkat PBB dan melahirkan konvesi perubahan iklim pada tahun 1992 yang dikenal dengan United Nations Convention on Climate Change (UNFCCC). Dibandingkan dengan konvensi lainnya yang berada di bawah naungan PBB, maka UNFCCC merupakan yang terbesar, dan hingga 2023 telah dirativikasi oleh 198 negara. Indonesia telah merativikasinya melalui UU 6 tahun 1994.

UNFCCC bersidang setiap tahun, dikenal dengan Conference of the Parties (COP-UNFCCC). COP yang terakhir, COP-28, digelar di Dubai pada bulan Nopember/Desember 2023 yang lalu. Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP-13 di Bali pada tahun 2007 dan menghasilkan the Bali Road Map; sementara COP-21 diadakan di Paris tahun 2015 dan menghasilkan kesepakan bersejarah yang disebut Paris Agreement (PA). Melalui PA inilah kita kenal dengan istilah-istilah dan atau kebijakan seperti target penurunan emisi GRK nasional atau NDC (Nationally Determined Contribution) dan target emisi bersih Indonesia tahun 2060 yang dikenal dengan NZE (Net Zero Emission).

Kelembagaan Perubahan Iklim

Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) tigapuluh tahun yang lalu (1994), sudah banyak yang telah dilakukan Pemerintah. Penyelengaraan COP-13 di Bali yang menghasilkan the Bali Road Map adalah salah satu keberhasilan Indonesia dalam memimpin kesepakatan dunia dan meletakkan dasar-dasar solusi perubahan iklim global ke depan. Kesepakan Paris pada hakekatnya adalah merujuk pada Bali COP-13 yang mengetengahkan aksi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan yang ditopang oleh pendanaan yang cukup, transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang, dan pembangunan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia untuk menyelesaikan krisis iklim.

Pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2008, satu tahun setelah Bali COP-13 yang berada langsung di bawah Presiden, adalah salah satu refleksi Indonesia untuk solusi penyelesaian krisis iklim di tingkat nasional dan global. Pembentukan Pokja-pokja DNPI yang merupakan wakil2 terpilih dari Kementrian/Lembaga Pemerintah, Akademisi dan LSM pada hakekatnya membagi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang perlu ditangani terkait dengan isu perubahan iklim. Namun seiring dengan pergantian rezim, DNPI dibubarkan pada tahun 2014 dan semua tupoksinya dialihkan kepada Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Selain itu, rezim pemerintahan yang baru mengangkat Prof Rachmat Witoelar sebagai Utusan Khusus (Utsus) Presiden bidang Perubahan Iklim. Namun seiring berjalannya waktu, Utsus hanya bertahan hanya satu periode kepemimpinan Presiden Jokowi. Pada periode ke dua, urusan perubahan iklim diserahkan sepenuhnya kepada KLHK. Sebagian besar isu perubahan iklim ditangani oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI). Ditjen ini mengurus semua rencana dan pelaksanaan serta pengukuran dan evaluasi kegiatan yang terkait dengan perubahan iklim.

Di luar Ditjen PPI, isu perubahan iklim juga dilakukan oleh Bappenas yang lebih memfokuskan pada kegiatan perencanaan nasional jangka menengah dan jangka panjang termasuk target-targetnya, serta melakukan analisa dan penyusunan model2 prediksi masa depan yang diharapkan bisa dilakukan. Sementara itu, Kementrian Keuangan melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) melakukan rancangan sumber2 pembiayaan perubahan iklim yang berasal dari dalam maupun luar negeri.  Adapun Kementrian/Lembaga lainnya, untuk isu perubahan iklim dilakukan dengan bekerjasama  dan berkoordinasi dengan KLHK. Sementara itu, untuk aktor di luar pemerintah, kegiatan perubahan iklim dilakukan oleh pelaku usaha, akademisi, peneliti, LSM, dan yang lainnya. Mereka melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi sesuai arahan dari KLHK.

Kementrian/Lembaga Perubahan Iklim

Karena sifatnya yang tidak mengenal batas wilayah, berdampak panjang, lintas generasi, lintas rezim pemerintahan, dan lokus kegiatannya di tingkat lokal, nasional dan global, maka perubahan iklim memerlukan struktur kelembagaan khusus yang tidak dibatasi masa kekuasaan rezim, ditangani secara professional, dan berada di tingkat nasional dan lokal.

Tigapuluh tahun setelah diratifikasinya UNFCCC melalui UU nomor 6 tahun 1994, kini sudah saatnya Pemerintahan baru yang akan memimpin negara ini memikirkan kelembagaan perubahan iklim yang lebih kuat, kredibel, berkelanjutan, dinamis, dan memiliki visi dan misi yang jauh ke depan.

Sudah saatnya pula kita memikirkan untuk memiliki UU Perubahan Iklim yang akan mendasari terbentuknya kelembagaan perubahan iklim yang sustainable, tidak bergantung pada keberadaan rezim pemerintahan yang berkuasa, dan bisa mempersatukan semua aksi iklim dari berbagai sektor. Termasuk di dalamnya adalah sektor energi dan transportasi, alih guna lahan dan kehutanan, pertanian, industri dan limbah, yang semuanya perlu ditunjang oleh pendanaan yang cukup dan memadai, serta ditangani oleh tenaga-tenaga professional yang tidak selalu harus berstatus ASN.

Kehadiran kementrian/lembaga perubahan iklim yang baru dan berada langsung di bawah Presiden diharapkan juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam kancah negosiasi perubahan iklim di tingkat global/internasional dan regional, sehingga tidak hanya menjadi penonton yang pasif, tetapi menjadi pelaku aktif dalam memberikan kontribusi solusi krisis iklim ke depan.

Semoga!!