03 Aug Pemulihan Hijau, dan Diplomasi Krisis Iklim
Dari Bali sampai ke Glasgow
Empat belas tahun yang lalu, di Bali, saat diselenggarakannya COP13 tahun 2007, Para Pihak secara aklamasi menyepakati The Bali Road Map -BRM, yaitu seperangkat keputusan solusi iklim berwawasan jauh ke depan untuk mencapai stabilitas iklim di masa datang. BRM kemudian dijabarkan kedalam Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan – BAP), yang memetakan arah proses negosiasi yang dirancang untuk mengatasi perubahan iklim. Ini adalah proses yang komprehensif untuk memungkinkan pelaksanaan Konvensi secara penuh, efektif dan berkelanjutan melalui kerjasama jangka panjang. BAP terdiri dari lima kategori utama: visi bersama, mitigasi, adaptasi, teknologi dan pembiayaan.
Empat belas tahun kemudian (2021), di Glasgow, Para Pihak COP-26 membuat Pakta Iklim Glasgow (Glasgow Climate Pact – GCP), yang menggaris-bawahi urgensi peningkatan aksi dan dukungan, termasuk keuangan, pembangunan kapasitas, dan transfer teknologi untuk meningkatkan kapasitas adaptif, memperkuat ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim. Semuanya harus dilakukan sesuai dengan basis ilmiah terbaik yang tersedia, dengan mempertimbangkan prioritas dan kebutuhan negara-negara berkembang. Selain itu, GCP mengakui solusi berbasis alam dan adaptasi berbasis ekosistem sebagai cara penting untuk memulihkan alam dan ekosistem.Jelaslah bahwa COP-13 Bali telah membuka jalan hingga Pakta Iklim Glasgow dan seterusnya. BAP sangat ambisius pada waktu itu. Barangkali saat itu kita terlalu optimis dan tidak menghitung kompleksitas isu perubahan iklim seperti saat ini, namun apapun alasannya, semangat Bali Road Map nyatanya telah digaungkan kembali di Glasgow, yang dengan tegas meminta setiap negara untuk segera melaksanakan Paris Agreement.
Seperti disaksikan di Bali dan sering dinyatakan dalam COP-COP berikutnya, upaya pengembangan kapasitas sangat penting untuk memungkinkan negara berkembang mengakses instrumen, sumber daya, dan pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan UNFCCC dan Perjanjian Paris. Kerangka pengembangan kapasitas untuk negara-negara berkembang mengakui dan menekankan pentingnya meningkatkan partisipasi aktif dan kerjasama para pihak (multi-stakeholders) dalam pembangunan kapasitas iklim, termasuk para pengambil kebijakan/pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, LSM, organisasi internasional, masyarakat sipil dan sektor swasta.
Target 2030 dan 2050
Dunia sepertinya semakin mengecil dan waktu seolah-olah semakin pendek ketika kita bicara tentang perubahan iklim yang setidaknya memiliki tiga karakter. Pertama, perubahan iklim adalah borderless issue, yaitu masalah tanpa batas negara, batas wilayah, bahkan batas benua sekalipun, sehingga dampaknya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Kedua, dampak negatif perubahan iklim terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang (bisa 50 – 100 tahun bahkan lebih). Dan ketiga, perubahan iklim tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah ilmiah. Dalam sejarah negosiasi perubahan iklim global, untuk pertama kalinya di Glasgow, hasil analisa IPCC dan kaidah-kaidah ilmiah digunakan sebagai dasar untuk membuat kesepakatan antar negara. Ini termasuk target penurunan emisi global sebesar 1,50C dan target Net Zero Emission pada tahun 2050.
Pakta Iklim Glasgow menetapkan tahun 2030 dan 2050 untuk menargetkan penurunan emisi global. Ini adalah waktu yang sangat singkat dari perspektif perubahan iklim. Menurut IPCC, jika target ini tidak tercapai, bencana iklim yang lebih parah dapat terjadi kapan saja dan di mana saja di dunia ini. Untuk menjaga target 1,5°C, setengah dari emisi global harus dipotong untuk mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad ini (2050). Dengan demikian, Pemerintah Inggris, dan bersama oleh 42 pemimpin dunia yang secara kolektif mewakili 70% dari PDB global, mendeklarasikan apa yang disebut Agenda Trobosan Glasgow (The Glasgow Breakthrough Agenda).
Agenda Terobosan Glasgow pada dasarnya terdiri dari lima emisi utama yang perlu dikurangi secara dunia dan segera pada tahun 2030. Yang pertama adalah pemanfaatan sumber daya energi alternatif yang bersih dan menjadi pilihan yang paling terjangkau; yang kedua adalah transportasi darat tanpa emisi yang akan menjadi kebutuhan di masa depan; yang ketiga adalah industri baja nol-emisi atau hampir-nol-emisi; keempat adalah pemanfaatan masal gas hidrogen yang terbarukan, terjangkau, dan rendah karbon; dan yang kelima adalah praktik pertanian yang cerdas, tahan iklim, dan berkelanjutan oleh petani di seluruh dunia.
Sayangnya, meskipun semua negara telah menyatakan komitmennya, penurunan emisi global pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Delapan tahun tersisa (hingga 2030) belum menunjukkan titik optimis. Apalagi dibayangi oleh krisis perang antara Rusia dan Ukraina yang perlahan tapi pasti semakin sulit. Transisi ekonomi ke ekonomi rendah emisi karbon akan terganggu karena kemampuan memenuhinya tidak secepat dengan tingginya permintaan energi dalam situasi krisis saat ini.Meski demikian, masih ada sedikit harapan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan di setiap negara yang saat ini juga menghadapi tantangan pasca pandemi, khususnya di G20. Keterlibatan jangka panjang dari climate-hub untuk non-state actors melalui peningkatan kapasitas lembaga melalui pertukaran pengetahuan dan aksi-aksi ramah iklim di tingkat lapangan. Mungkin ini lebih layak dalam mengembangkan “proof of concept” di tingkat mikro sambil mengkaitkannya dengan target Perjanjian Paris.
Diplomasi Krisis Iklim
Upaya di luar negosiasi melalui mobilisasi sumber daya non-state actors harus didorong secara progresif dan masif. Namun, ketahanan untuk beradaptasi memiliki keterbatasan. Kita harus menjadi bagian dalam merintis aksi mitigasi dan adaptasi yang terukur, konsisten dan juga fokus melindungi berbagai kawasan rawan bencana. Menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Bappenas, ada sekitar 50 juta orang di wilayah pesisir Indonesia yang akan terkena dampak signifikan dari bencana iklim yang akan terjadi di masa depan.Solusinya memang sangat dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak dan semua negara. Namun, komitmen dan janji saja tidak cukup dan tidak akan mengurangi emisi gas rumah kaca, justru diperlukan tindakan nyata. Jadi di COP 27 mendatang dan seterusnya, kita perlu mengubah komitmen menjadi tindakan nyata yang dilakukan oleh semua pihak.
Sebagai penutup, berikut adalah tiga poin yang dapat disarankan kepada para pengambil kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim. Pertama, ibarat kendaraan yang melaju kencang karena remnya blong, COP-26 yang lalu adalah momentum untuk menyelamatkan diri. Ada kerusakan lainnya di sepanjang jalan, dan lebih banyak kerusakan terbentang di depan. Karena itu, kita perlu mengendalikan diri untuk memastikan semua orang aman. Yang ke dua, investasi infrastruktur yang mengunci praktik kotor masih terlalu tinggi. Semua mata tertuju pada “membangun kembali dengan lebih baik” daripada “membangun ke depan untuk keberlanjutan”. Tidak ada satu negara-pun di G-20 yang berkehendak untuk mengubah pengeluaran triliunan USD menjadi pola yang berkelanjutan. Pergeseran seperti itu dapat dicapai dengan perubahan kecil untuk memastikan bahwa pajak konsumsi mendukung pilihan yang berkelanjutan daripada yang tidak berkelanjutan. Ledakan pengeluaran yang akan datang menghadirkan peluang untuk menghapus subsidi dan hak istimewa untuk bisnis kotor, dimulai dengan energi fosil dan transportasi, penggunaan lahan, dan industri makanan. Yang ketiga, walaupun belum dapat dipastikan apakah COP27 di Mesir akan dipengaruhi oleh dinamika global yang berkembang saat ini, menjaga akuntabilitas emitor utama adalah hal yang mendesak untuk dilakukan. Ini bagaikan kerikil yang sudah lama berada dalam sepatu dan perlu segera dikeluarkan.
Semua pihak harus segera menyelesaikan masalah ini. Untuk itu, maka digunakan format pelaporan yang berlaku untuk semua Pihak dan penting untuk melacak kemajuannya menuju target global. Pada Pasal 6 UNFCCC, misalnya, harus dapat menyimpulkan aturan yang dapat memastikan integritas lingkungan dari pasar karbon internasional yang meningkat, dan pada saat yang sama, tidak merusak ambisi NDC.
Ditulis Oleh : Doddy S. Sukadri[1] dan Farhan Helmy[2]
[1] Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau
[2] Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability